Halaman

Sabtu, 03 September 2011

Memaknai Bulan Suro


Bulan Suro –yang dalam Islam dikenal dengan bulan Muharram- terkenal sakral dan penuh mistik di kalangan sebagian orang. Saking sakralnya berbagai keyakinan keliru bermunculan pada bulan ini. Berbagai ritual yang berbau syirik pun tak tertinggalan dihidupkan di bulan ini. Bulan Muharram dalam Islam sungguh adalah bulan yang mulia. Namun kenapa mesti dinodai dengan hal-hal semacam itu?
Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram
Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut (yang artinya), ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”[1]
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”[2]
Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[3]
Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?” Beliau rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram)[4] Jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa.
Bulan Suro, Bulan Penuh Bencana dan Musibah
Itulah berbagai tanggapan sebagian orang mengenai bulan Suro atau bulan Muharram. Sehingga kita akan melihat berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan oleh mereka. Di antaranya adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini akan terbebas dari sukerta atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri). Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol kejahatan.
Karena kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua menasehati anaknya seperti ini: ”Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan sering kebut-kebutan, nanti bisa celaka. Ini bulan suro lho.”
Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai anggapan masyarakat mengenai bulan Suro dan kesialan di dalamnya.
Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari dua hal yaitu mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Karena ingatlah bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu. Saatnya kita melihat penilaian agama Islam mengenai dua hal ini.
Mencela Waktu atau Bulan
Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah: 24). Jadi, mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek.
Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.”[5]
Jelaslah bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang, bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ’Azza wa Jalla.
Merasa Sial dengan Waktu Tertentu
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda). Tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal.”[6]
Ini berarti bahwa beranggapan sial dengan sesuatu baik dengan waktu, bulan atau beranggapan sial dengan orang tertentu adalah suatu yang terlarang bahkan beranggapan sial termasuk kesyirikan.
Jangan Salahkan Bulan Suro!
Ingatlah bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan musibah atau kesialan, hendaknya dia mengambil ibroh bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan musibah, kesialan atau bencana begitu saja, pasti ada sebabnya. Di antara sebabnya adalah karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Inilah yang harus kita ingat, wahai saudaraku. Perhatikanlah firman Allah ’Azza wa Jalla (yang artinya), ”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa: 30)
Syaikh Sholih bin Fauzan hafizhohullah mengatakan, ”Jadi, hendaklah seorang mukmin bersegera untuk bertaubat atas dosa-dosanya dan bersabar dengan musibah yang menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah Ta’ala. Janganlah lisannya digunakan untuk mencela waktu dan hari, tempat terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan takdir-Nya. Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang terjadi disebabkan karena dosa yang telah dia lakukan. Maka seharusnya seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.”[7]
Jadi, waktu dan bulan tidaklah mendatangkan kesialan dan musibah sama sekali. Namun yang harus kita ketahui bahwa setiap musibah atau kesialan yang menimpa kita sudah menjadi ketetapan Allah dan itu juga karena dosa yang kita perbuat. Maka kewajiban kita hanyalah bertawakkal ketika melakukan suatu perkara dan perbanyaklah taubat serta istighfar pada Allah ’Azza wa Jalla.
Lalu pantaskah bulan Suro dianggap sebagai bulan sial dan bulan penuh bencana? Tentu saja tidak. Banyak bukti kita saksikan. Di antara saudara kami, ada yang mengadakan hajatan nikah di bulan Suro, namun acara resepsinya lancar-lancar saja, tidak mendapatkan kesialan. Bahkan keluarga mereka sangat harmonis dan dikaruniai banyak anak. Jadi, sebenarnya jika ingin hajatannya sukses bukanlah tergantung pada bulan tertentu atau pada waktu baik. Mengapa harus memilih hari-hari baik? Semua hari adalah baik di sisi Allah. Namun agar hajatan tersebut sukses, kiatnya adalah kita kembalikan semua pada Yang Di Atas, yaitu kembalikanlah semua hajat kita pada Allah. Karena Dia-lah sebaik-baik tempat bertawakal. Inilah yang harus kita ingat.
Isilah Bulan Muharram dengan Puasa
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendorong kita untuk banyak melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya, “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[8]
Dari hari-hari yang sebulan itu, puasa yang paling ditekankan untuk dilakukan adalah puasa pada hari ’Asyura yaitu pada tanggal 10 Muharram. Berpuasa pada hari tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata, “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.”[9]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa ‘Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan puasa pada hari lainnya. Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.[10]
Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan.[11]
Intinya, kita lebih baik berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Karena dalam melakukan puasa ‘Asyura ada dua tingkatan yaitu: [1] Tingkatan yang lebih sempurna adalah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram sekaligus, dan [2] Tingkatan di bawahnya adalah berpuasa pada 10 Muharram saja.[12]
Insya Allah tanggal 10 Muharram jatuh pada tanggal 27 Desember 2009 sedangkan tanggal 9 Muharram jatuh pada tanggal 26 Desember 2009.
Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan amalan puasa ini. Hanya Allah yang memberi taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. [Muhammad Abduh Tuasikal, ST]
_____________
[1] HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679
[2] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36, 3/173, Mawqi’ At Tafasir
[3] HR. Muslim no. 2812
[4] Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abul Fadhl As Suyuthi, 3/206, Al Maktab Al Mathbu’at Al Islami, cetakan kedua, tahun 1406 H
[5] HR. Muslim no. 6000
[6] HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid – Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
[7] Lihat I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah
[8] HR. Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah.
[9] HR. Muslim no. 1162.
[10] HR. Muslim no. 1134, dari Ibnu ‘Abbas.
[11] Lihat Al Minhaj Syarh Muslim, 8/12-13.
[12] Lihat Tajridul Ittiba’, Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili, hal. 128, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, tahun 1428 H.

Profil Yayasan Majlis Tafsir Al-Quran ( MTA )

Yayasan Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) adalah sebuah lembaga pendidikan dan dakwah Islamiyah yang berkedudukan di Surakarta. MTA didirikan oleh Almarhum Ustadz Abdullah Thufail Saputra di Surakarta pada tangal 19 September 1972 dengan tujuan... untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an. Sesuai dengan nama dan tujuannya, pengkajian Al-Qur’an dengan tekanan pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan Al-Qur’an menjadi kegiatan utama MTA.

B. Latar Belakang

Pendirian MTA dilatarbelakangi oleh kondisi umat Islam pada akhir dekade 60 dan awal dekade70. Sampai pada waktu itu, ummat Islam yang telah berjuang sejak zaman Belanda untuk melakukan emansipasi, baik secara politik, ekonomi, maupun kultural, justru semakin terpinggirkan. Ustadz Abdullah Thufail Saputra, seorang mubaligh yang karena profesinya sebagai pedagang mendapat kesempatan untuk berkeliling hampir ke seluruh Indonesia, kecuali Irian Jaya, melihat bahwa kondisi umat Islam di Indonesia yang semacam itu tidak lain karena umat Islam di Indonesia kurang memahami Al-Qur’an. Oleh karena itu, sesuai dengan sabda Nabi s.a.w. bahwa umat Islam tidak akan dapat menjadi baik kecuali dengan apa yang telah menjadikan umat Islam baik pada awalnya, yaitu Al-Qur’an, Ustadz Abdullah Thufail Saputra yakin bahwa umat Islam Indonesia hanya akan dapat melakukan emansipasi apabila umat Islam mau kembali ke Al-Qur’an. Demikianlah, maka Ustadz Abdullah Thufail Saputra pun mendirikan MTA sebagai rintisan untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an.

C. Bentuk Badan Hukum

MTA tidak dikehendaki menjadi lembaga yang illegal, tidak dikehendaki menjadi ormas/orpol tersendiri di tengah-tengah ormas-ormas dan orpol-orpol Islam lain yang telah ada, dan tidak dikehendaki pula menjadi onderbouw ormas-ormas atau orpol-orpol lain. Untuk memenuhi keinginan ini, bentuk badan hukum yang dipilih adalah yayasan. Pada tanggal 23 Januari tahun 1974, MTA resmi menjadi yayasan dengan akta notaris R. Soegondo Notodiroerjo.

D. Struktur Lembaga

Kini MTA telah berkembang ke kota-kota dan propinsi-propinsi lain di Indonesia. Pada awalnya, setelah mendirikan MTA di Surakarta, Ustadz Abdullah Thufail Saputra membuka cabang di beberapa kecamatan di sekitar Surakarta, yaitu di kecamatan Nogosari (di Ketitang), Kabupaten Boyolali, di Kecamatan Polan Harjo, Kabupaten Klaten, di Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, dan di Kecamatan Gemolong, Kabupaten Sragen. Selanjutnya, perkembangan pada umumnya terjadi karena siswa-siswa MTA yang mengaji baik di MTA Pusat mau pun di cabang-cabang tersebut di daerahnya masing-masing, atau di tempatnya merantau di kota-kota besar, membentuk kelompok-kelompok pengajian. Setelah menjadi besar, kelompok-kelompok pengajian itu mengajukan permohonan ke MTA Pusat agar dikirim guru pengajar (yang tidak lain dari siswa-siswa senior) sehingga kelompok-kelompok pengajian itu pun menjadi cabang-cabang MTA yang baru. Dengan cara itu, dari tahun ke tahun tumbuh cabang-cabang baru sehingga ketika di sebuah kabupaten sudah tumbuh lebih dari satu cabang dan diperlukan koordinasi dibentuklah perwakilan yang mengkoordinir cabang-cabang tersebut dan bertanggungjawab membina kelompok-kelompok baru sehingga menjadi cabang. Kini, apabila kelompok pengajian ini merupakan kelompok pengajian yang pertama-tama tumbuh di sebuah kabupaten kelompok pengajian ini langsung diresmikan sebagai perwakilan. Demikianlah, cabang-cabang dan perwakilan-perwakilan baru tumbuh di berbagai daerah di Indonesia sehingga MTA memperoleh strukturnya seperti sekarang ini, yaitu MTA pusat, berkedudukan di Surakarta; MTA perwakilan, di daerah tingkat dua; dan MTA cabang di tingkat kecamatan (kecuali di DIY, perwakilan berada di tingkat propinsi dan cabang berada di tingkat kabupaten).

E. Kegiatan

1. Pengajian

a. Pengajian khusus

Sesuai dengan tujuan pendirian MTA, yaitu untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an, kegiatan utama di MTA berupa pengkajian Al-Qur’an. Pengkajian Al-Qur’an ini dilakukan dalam berbagai pengajian yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengjian khusus dan pengajian umum. Pengajian khusus adalah pengajian yang siswa-siswanya (juga disebut dengan istilah peserta) terdaftar dan setiap masuk diabsen. Pengajian khusus ini diselenggarakan seminggu sekali, baik di pusat maupun di perwakilan-perwakilan dan cabang-cabang, dengan guru pengajar yang dikirim dari pusat atau yang disetujui oleh pusat. Di perwakilan-perwakilan atau cabang-cabang yang tidak memungkinkan dijangkau satu minggu sekali, kecuali dengan waktu yang lama dan tenaga serta beaya yang besar, pengajian yang diisi oleh pengajar dari pusat diselenggarakan lebih dari satu minggu sekali, bahkan ada yang diselenggarakan satu semester sekali. Perwakilan-perwakilan dan cabang-cabang yang jauh dari Surakarta ini menyelenggarakan pengajian seminggu-sekali sendiri-sendiri. Konsultasi ke pusat dilakukan setiap saat melalui telpun.

Materi yang diberikan dalam pengajian khusus ini adalah tafsir Al-Qur’an dengan acuan tafsir Al-Qur’an yang dikeluarkan oleh Departemen Agama dan kitab-kitab tafsir lain baik karya ulama-ulama Indonesia maupun karya ulama-ulama dari dunia Islam yang laim, baik karya ulama-ulama salafi maupun ulama-ulama kholafi. Kitab tafsir yang sekarang sedang dikaji antara lain adalah kitab tafsir oleh Ibn Katsir yang sudah ada terjemahannya dan kitab tafsir oleh Ibn Abas. Kajjian terhadap kitab tafsir oleh Ibn Abas dilakukan khusus oleh siswa-siswa MTA yang kemampuan bahasa Arabnya telah memadai.

Proses belajar mengajar dalam pengajian khusus ini dilakukan dengan teknik ceramah dan tanya jawab. Guru pengajar menyajikan meteri yang dibawakannya kemudian diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan dari siswa. Dengan tanya jawab ini pokok bahasan dapat berkembang ke berbagai hal yang dipandang perlu. Dari sinilah, kajian tafsir Al-Qur’an dapat berkembang ke kajian aqidah, kajian syareat, kajian akhlak, kajian tarikh, dan kajian masalah-masalah aktual sehari-hari. Dengan demikian, meskipun materi pokok dalam pengajian khusus ini adalah tafsir Al-Qur’an, tidak berarti cabang-cabang ilmu agama yang lain tidak disinggung. Bahkan, sering kali kajian tafsir hanya disajikan sekali dalam satu bulan dan apabila dipandang perlu kajian tafsir untuk sementara dapat diganti dengan kajian-kajian masalah-masalah lain yang mendesak untuk segera diketahui oleh siswa. Disamping itu, pengkajian tafsir Al-Qur’an yang dilakukan di MTA secara otomatis mencakup pengkajian Hadits karena ketika pembahasan berkembangan ke masalah-masalah lain mau tidak mau harus merujuk Hadits.

Dari itu semua dapat dilihat bahwa yang dilakukan di MTA bukanlah menafsirkan Al-Qur’an, melainkan mengkaji kitab-kitab tafsir yang ada dalam rangka pemahaman Al-Qur’an agar dapat dihayati dan selanjutnya diamalkan.

b. Pengajian Umum

Pengajian umum adalah pengajian yang dibuka untuk umum, siswanya tidak terdaftar dan tidak diabsen. Materi pengajian lebih ditekankan pada hal-hal yang diperlukan dalam pengamalan agama sehari-hari. Pengajian umum ini baru dapat diselenggarakan oleh MTA Pusat yang diselenggarakan satu minggu sekali pada hari Minggu pagi.

Mengapa Harus Barzanji ?

1). Keberadaan Kitab Barzanji Di Kalangan Kaum Muslimin.
Kitab ‘Iqdul jauhar fî maulid an nabiyyi al azhar’ atau yang terkenal dengan nama Maulid Barzanji, adalah sebuah kitab yang sangat populer di kalangan dunia Islam, demikian juga di negara kita Indonesia, terutama di kalangan para santri dan pondok-pondok pesantren. Maka, tidak mengherankan jika di setiap rumah mereka terdapat kitab Barzanji ini. Bahkan, sebagian di antara mereka sudah menghafalnya. Sudah menjadi ritual di antara mereka untuk membacanya setiap malam Senin karena meyakini adanya keutamaan dalam membacanya pada malam hari kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ada juga yang membacanya setiap malam Jum’at karena mengharap keberkahan malam hari tersebut. Ada juga yang membacanya setiap bulan sekali, dan ada juga pembacaan maulid barzanji ini pada hari menjelang kelahiran sang bayi atau pada hari dicukur rambutnya. Sudah kita ketahui bahwa mereka beramai-ramai membacanya dengan berjamaah kemudian berdiri ketika dibacakan detik-detik kelahiran beliau. Hal ini mereka lakukan pada perayaan maulid beliau pada tanggal 12 Rabi’ûl awwal. Mereka meyakini bahwa dengan membaca barzanji ini mereka telah mengenang dan memuliakan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga mereka akan memperoleh ketentraman, kedamaian dan keberkahan yang melimpah. Demikianlah cara mereka untuk mewujudkan cinta sejati mereka kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

2). Kandungan Kitab Barzanji
Kitab ini mengandung sejarah dan perjalanan hidup Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara singkat mulai sejak beliau lahir, diangkat menjadi rasul, peristiwa hijrah dan pada peperangan hingga wafat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun, dalam penyajiannya dipenuhi dengan lafadz-lafadz ghuluw dan pujian-pujian yang melampaui batas kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, terlebih ketika dibacakan masa-masa menjelang kelahiran beliau. Disebutkan bahwasanya binatang melata milik orang Quraisy sibuk memperbincangkan kelahiran beliau dengan bahasa Arab yang fasih', bahwa Âsiah, Maryam binti Imran dan bidadari-bidadari dari surga mendatangi ibu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yakni Aminah menjelang kelahiran beliau, tanaman yang dulu kering, menjadi tumbuh dan bersemi kembali setelah beliau lahir dan masih banyak lagi kemungkaran dalan barzanji ini, bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diberikan sebagian hak rububiyah yang tidak layak diberikan kecuali hanya kepada Allah k semata. Semua ini muncul karena sikap ghuluw atau ifrâth dari kelompok yang mengaku cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal, sikap ghuluw adalah sikap yang tercela dalam agama Islam dan merupakan sebab penyimpangan dan jauhnya kaum Muslimin dari kebenaran yang sebelumnya telah menghancurkan umat pendahulu kita. Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah k kecuali yang benar". [An-Nisa`/ 4:171-172]

Dari Umar bin Khathab, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أََطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah kalian menyanjungku secara berlebihan, sebagaimana kaum Nashara menyanjung Isa bin Maryam sesungguhnya aku adalah seorang hamba. Oleh karena itu katakanlah tentang aku, “hamba Allah Azza wa Jalla dan rasul-Nya”.[HR Bukhâri dan Muslim]

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَاْلغُلُوُّ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اْلغُلُوُّ

“Jauhilah sikap berlebih-lebihan, karena orang-orang sebelum kalian hancur binasa karena sikap berlebihan”. [HR Muslim]

Kitab Barzanji ini, serta kitab-kitab yang semisalnya seperti maulid Diba’i dan al Burdah dijadikan pegangan oleh para penyembah kubur dan pemuja para wali dan habib dalam rangka mengenang dan membela pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia. Hal ini telah dikatakan oleh pendahulu mereka, seorang tokoh Quburi (pengagum kubur) yang hidup semasa dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, yaitu Nuruddin Ali bin Ya’kub yang terkenal dengan nama al Bakri (673-724 H), dia berkata: “Aku sungguh khawatir atas mayoritas penduduk negeri ini (keburukan akan menimpa mereka) dengan sebab mereka enggan untuk membela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam“. Inilah dalih yang menjadi sandaran untuk membenarkan kebid’ahan mereka.

Sedangkan pernyataan ini telah dikupas dan dibantah oleh Syaikhul Islam dalam kitabnya al Istighâtsah fî ar-radi ‘alal bakrî . Begitulah dalih mereka sejak dahulu hingga sekarang dalam mengadakan acara maulid dan membaca barzanji atau semisalnya. Mereka membela pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menganggap bahwa kaum Wahabi tidak cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jelas, hal ini merupakan kedustaan yang besar atas ahlus sunnah wal jama’ah, karena Ahlus sunnah wal jama’ah adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam namun kecintaan mereka berada di antara ifrâth (ghuluw) dan tafrîth (meremehkan).

Dalam buku maulid barzanji ini tidak dijumpai satu ayatpun dari Alqur`an dan juga tidak terdapat satu kalimat pun dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang ada hanyalah sîrah atau sejarah perjalanan hidup beliau yang tersaji dalam untaian-untaian puisi sebagai sanjungan kepada Rasulullah Shallallahju 'alaihi wa sallam.

Kalau kita renungkan, mengapa kaum Muslimin negeri kita sangat cinta membaca kitab Barzanji ini? Mungkin di antara jawabannya adalah bahwa mereka hanya mengikuti tradisi dari pendahulu-pendahulu mereka, sehingga mereka taklîd buta dalam hal ini.

Padahal mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bukan dengan membaca kitab Barzanji, tetapi dengan mewujudkan syahâdat "Anna Muhammadan Rasulûllâh" dengan konsekuensi membenarkan beritanya, mentaati perintahnya, menjauhi larangannya, dan tidak beribadah kepada Allah Azza wa Jalla melainkan dengan syari’atkan beliau. Inilah cinta sejati kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni dengan merealisasikan mutâba’ah (keteladanan) kepada beliau yang mulia dan menerapkankan sunnah beliau dalam kehidupan sehari-hari.

Kemudian, bagaimana sebenarnya sikap seorang muslim terhadap kitab Barzanji ini ? Dan bagaimana dahulu salafus shâlih, para pendahulu kita yang mulia mencintai dan memuliakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ? Dan apakah yang mereka baca dan pelajari dalam keseharian mereka? Apakah kitab Barzanji atau yang kitab yang lain? Semoga pembahasan selanjutnya bisa memberikan jawabannya.

3). Para Sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Adalah Generasi Terbaik
Para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, adalah orang-orang yang paling bersemangat dalam kebaikan dan orang yang paling sempurna dalam mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mereka juga orang yang paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada satu riwayatpun dari mereka, bahwa sepeninggal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka berkumpul lalu membaca sîrah dan mengenang kehidupan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia. Lau kâna khairan lasabaqûna ilaih; seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah mendahuhuli kita dalam mengamalkannya.

Demikian juga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau tidak pernah membaca sîrah beliau sendiri, tidak pernah mengajarkannya kepada para sahabat dan juga umatnya agar membaca sîrah pada hari kelahiran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal, tidak ada satu kebaikan pun, melainkan telah ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak ada satu keburukan pun melainkan telah dilarang oleh beliau. Jadi, pembacaan maulid barzanji dan maulid yang lain adalah bid’ah dhalâlah yang harus dijauhi oleh kaum muslimin.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ماَ بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرٍ مَا يَعْلُمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرُهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ

“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan dia berkewajiban untuk menunjukkan umatnya kepada perkara terbaik yang dia ketahui untuk mereka, dan memberi peringatan atas perkara jelek yang dia ketahui untuk mereka”. [HR Muslim]

Maka, pembacaan barzanji dan yang semisalnya bukanlah merupakan suatu kebaikan yang ditunjukkan oleh beliau Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

4). Kebaikan Yang Hakiki Hanya Ada Pada Ilmu Syar’i Yang Shahîh
Di antara tanda-tanda kebaikan seseorang adalah jika dia difahamkan oleh Allah Azza wa Jalla tentang agama Islam yang murni yang bersumber dari Alqur’ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia.

Diriwayatkan dari Mu’awiyah bin Sufyan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُرِدِ الله ُبِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ

“Barangsiapa yang dikehendaki Allah k untuk mendapatkan kebaikan maka Dia (Allah) akan memahamkannya dalam agama”.[HR Bukhâri]

Jadi, di antara tanda-tanda seseorang akan mendapatkan kebaikan adalah dengan mempelajari ilmu agama yang bersumber dari Alqur’ân dan hadits. Kemudian mengamalkan dan mendakwahkannya.

Kalau ditanyakan kepada kebanyakan saudara kita, mengapa mereka asyik membaca kitab Barzanji? Mereka pasti menjawab bahwa mereka hanya menginginkan kebaikan. Demikian juga para pelaku bid’ah, mereka menginginkan kebaikan dalam mengamalkan bid’ahnya. Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun dia tidak mampu memperolehnya, sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu 'anhu

5). Kewajiban Untuk Berpegang Kepada Alqur’ân Dan As Sunnah
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا

“Dan berpeganglah dengan tali Allah Azza wa Jalla semuanya dan janganlah berpecah belah”. [Ali-Imrân:103]

Syaikh as-Sa’di berkata: " Agar mereka berpegang teguh dengan tali yang Allah Azza wa Jalla berikan. Dia menjadikannya sebagai sebab antara mereka dan Dia, yaitu agama dan kitab-Nya. Kemudian mereka bersatu di atasnya, tidak berpecah belah dan senantiasa seperti itu hingga mereka mati.[2]

Alqur’ân dan as Sunnah adalah pedoman hidup kita dalam beragama dan kunci keselamatan di dunia dan akherat. Keduanya adalah jalan untuk meraih kebahagiaan yang abadi.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنِّيْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُوْا أَبَدًا : كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةُ نَبِيِّهِ

“Sesungguhnya aku telah tinggalkan pada kalian apabila kalian berpegang teguh dengannya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya; Kitâbullah dan Sunnah Nabi-Nya”. [HR Hâkim].

6). Keutamaan Membaca Dan Mempelajari Alqur’ân Dan Sunnah
Allah Azza wa Jalla berfirman:

” Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah k dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah k menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah k Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” [Fâthir/ 35:29-30]

Orang-orang yang membaca kitabullâh akan mendapatkan keutamaan yang besar. Mereka juga tidak meninggalkan membaca sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam memahaminya karena Alqur’ân dan Sunnah keduanya tidak bisa di pisahkan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah berkata: "Membaca Alqur’ân itu terbagi menjadi dua:

Pertama adalah tilâwah hukmiyyah yakni membenarkan beritanya, menerapkan hukum-hukumnya dengan mengerjakan perintah dan menjauhi larangannya.

Kedua adalah tilâwah lafdziyah yakni sekedar membacanya, dan telah terdapat dalil yang banyak dalam keutamaan membaca Alqur’ân ini, baik membaca secara keseluruhan atau sebagian ayat-ayat tertentu saja.[3]

7). Adab-Adab Dalam Membaca Alqur’ân.
Ketika kaum muslimin gemar membaca Alqur’ân dan sibuk mempelajarinya, maka sudah selayaknya mereka mengetahui etika dan adab dalam bermuamalah dengan Kitâbullâh.

Di antara adab-adab dalam membaca Alqur’ân adalah:
a). Membaca dengan niat yang ikhlas.
Membaca Alqur’ân adalah ibadah yang mulia. Maka, disyaratkan untuk mengikhlaskan niat hanya mencari wajah Allah Azza wa Jalla. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِقْرَأُوْا القرُآنَ وَابْتَغُوْا بِهِ وَجْهَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ قَوْمٌ يُقِيْمُوْنَهُ إِقَامَةً الْقَدَحِ يَتَعَجَّلُوْنَهُ وَلاَ يَتَأَجَّلُوْنَهُ

“Bacalah Alqur’ân dan carilah dengannya wajah Allah Azza wa Jalla, sebelum datang satu kaum yang menegakkannya seperti melepaskan anak panah (membaca dengan cepat); mereka tergesa-gesa dan tidak mengharapkan pahala akherat”. [HR Ahmad]

Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Makna hadits ini adalah mereka tergesa-gesa dengan upahnya yang berupa uang atau agar terkenal dan semisalnya".[4]

b). Membaca dengan menghadirkan hati, menghayati apa yang dibaca dan berusaha memahami maknanya.
c). Membaca dalam keadaan berwudhu’, karena hal ini lebih memuliakan Kalâmullah
d). Tidak membacanya di tempat yang kotor dan najis atau di tempat yang bising sehingga tidak mungkin dia mendengar bacaannya dengan baik, karena ini berarti merendahkan Kalâmullah.
e). Hendaknya membaca ta’awwudz; A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm atau ta’awwudz yang lain sebelum mulai membacanya
f). Hendaknya memperbagus suaranya.
g). Hendaknya membaca dengan tartil.
8. Melakukan sujud tilawah ketika melewati ayat-ayat sajdah (ayat-ayat yang dianjurkan untuk sujud ketika membacanya).

8). Penutup
Kitab maulid Barzanji ternyata dipenuhi dengan kemungkaran aqidah di dalamnya. Dan tidak selayaknya kaum muslimin asyik membacanya dalam keadaan apapun, apalagi sebagian besar di antara mereka tidak memahami apa yang mereka baca. Perayaan maulid nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak disyari’atkan dalam agama kita bahkan termasuk perbuatan bid’ah. Maka, ajakan kami hendaknya kaum muslimin semuanya kembali kepada ajaran Islam yang murni dengan berpegang kepada Alqur’ân dan Sunnah di atas pemahaman salaful ummah dan istiqamah hingga wafat menjemput kita. Semoga Allah Azza wa Jalla ridha terhadap kita semua.
_________
Footnotes
[1]. Al istighâtsah fî ar-rad ‘ala Al bakri, cet maktabah dual minhaj hal 23
[2]. Tafsîr as-Sa’di, cet. Muassasah ar Risâlah hal 112
[3]. Majâlis Syahri Ramadhân, cet. ar Riasah al Ammah hal 28
[4]. At Tibyân fî Adâbi Hamalatil Qur’ân, cet. Maktabah Ibnu Abbas -Yaman hal 68
1). Keberadaan Kitab Barzanji Di Kalangan Kaum Muslimin.

Kitab ‘Iqdul jauhar fî maulid an nabiyyi al azhar’ atau yang terkenal
dengan nama Maulid Barzanji, adalah sebuah kitab yang sangat populer di
kalangan dunia Islam, demikian juga di negara kita Indonesia, terutama
di kalangan para santri dan pondok-pondok pesantren. Maka, tidak
mengherankan jika di setiap rumah mereka terdapat kitab Barzanji ini.
Bahkan, sebagian di antara mereka sudah menghafalnya. Sudah menjadi
ritual di antara mereka untuk membacanya setiap malam Senin karena
meyakini adanya keutamaan dalam membacanya pada malam hari kelahiran
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ada juga yang membacanya
setiap malam Jum’at karena mengharap keberkahan malam hari tersebut.
Ada juga yang membacanya setiap bulan sekali, dan ada juga pembacaan
maulid barzanji ini pada hari menjelang kelahiran sang bayi atau pada
hari dicukur rambutnya. Sudah kita ketahui bahwa mereka beramai-ramai
membacanya dengan berjamaah kemudian berdiri ketika dibacakan
detik-detik kelahiran beliau. Hal ini mereka lakukan pada perayaan
maulid beliau pada tanggal 12 Rabi’ûl awwal. Mereka meyakini bahwa
dengan membaca barzanji ini mereka telah mengenang dan memuliakan Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga mereka akan memperoleh
ketentraman, kedamaian dan keberkahan yang melimpah. Demikianlah cara
mereka untuk mewujudkan cinta sejati mereka kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. 



2). Kandungan Kitab Barzanji

Kitab ini mengandung sejarah dan perjalanan hidup Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam secara singkat mulai sejak beliau lahir,
diangkat menjadi rasul, peristiwa hijrah dan pada peperangan hingga
wafat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun, dalam penyajiannya
dipenuhi dengan lafadz-lafadz ghuluw dan pujian-pujian yang melampaui
batas kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, terlebih ketika
dibacakan masa-masa menjelang kelahiran beliau. Disebutkan bahwasanya
binatang melata milik orang Quraisy sibuk memperbincangkan kelahiran
beliau dengan bahasa Arab yang fasih', bahwa Âsiah, Maryam binti Imran
dan bidadari-bidadari dari surga mendatangi ibu Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam yakni Aminah menjelang kelahiran beliau, tanaman yang
dulu kering, menjadi tumbuh dan bersemi kembali setelah beliau lahir
dan masih banyak lagi kemungkaran dalan barzanji ini, bahkan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam diberikan sebagian hak rububiyah yang
tidak layak diberikan kecuali hanya kepada Allah k semata. Semua ini
muncul karena sikap ghuluw atau ifrâth dari kelompok yang mengaku cinta
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal, sikap ghuluw
adalah sikap yang tercela dalam agama Islam dan merupakan sebab
penyimpangan dan jauhnya kaum Muslimin dari kebenaran yang sebelumnya
telah menghancurkan umat pendahulu kita. Allah Azza wa Jalla berfirman:



"Wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan
janganlah kamu mengatakan terhadap Allah k kecuali yang benar".
[An-Nisa`/ 4:171-172]



Dari Umar bin Khathab, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:



لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أََطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ



“Janganlah kalian menyanjungku secara berlebihan, sebagaimana kaum
Nashara menyanjung Isa bin Maryam sesungguhnya aku adalah seorang
hamba. Oleh karena itu katakanlah tentang aku, “hamba Allah Azza wa
Jalla dan rasul-Nya”.[HR Bukhâri dan Muslim]



Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu,  bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:



إِيَّاكُمْ وَاْلغُلُوُّ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اْلغُلُوُّ



“Jauhilah sikap berlebih-lebihan, karena orang-orang sebelum kalian hancur binasa karena sikap berlebihan”. [HR Muslim]



Kitab Barzanji ini, serta kitab-kitab yang semisalnya seperti maulid
Diba’i dan al Burdah dijadikan pegangan oleh para penyembah kubur dan
pemuja para wali dan habib dalam rangka mengenang dan membela pribadi
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia. Hal ini telah
dikatakan oleh pendahulu mereka, seorang tokoh Quburi (pengagum kubur)
yang hidup semasa dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,
yaitu Nuruddin Ali bin Ya’kub yang terkenal dengan nama al Bakri
(673-724 H), dia berkata: “Aku sungguh khawatir atas mayoritas penduduk
negeri ini (keburukan akan menimpa mereka) dengan sebab mereka enggan
untuk membela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam“. Inilah dalih
yang menjadi sandaran untuk membenarkan kebid’ahan mereka. 



Sedangkan pernyataan ini telah dikupas dan dibantah oleh Syaikhul Islam
dalam kitabnya al Istighâtsah fî ar-radi ‘alal bakrî . Begitulah dalih
mereka sejak dahulu hingga sekarang dalam mengadakan acara maulid dan
membaca barzanji atau semisalnya. Mereka membela pribadi Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menganggap bahwa kaum Wahabi tidak
cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jelas, hal ini
merupakan kedustaan yang besar atas ahlus sunnah wal jama’ah, karena
Ahlus sunnah wal jama’ah adalah orang yang paling cinta kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam namun kecintaan mereka berada
di antara ifrâth (ghuluw) dan tafrîth (meremehkan).



Dalam buku maulid barzanji ini tidak dijumpai satu ayatpun dari
Alqur`an dan juga tidak terdapat satu kalimat pun dari sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang ada hanyalah sîrah atau sejarah
perjalanan hidup beliau yang tersaji dalam untaian-untaian puisi
sebagai sanjungan kepada Rasulullah Shallallahju 'alaihi wa sallam.



Kalau kita renungkan, mengapa kaum Muslimin negeri kita sangat cinta
membaca kitab Barzanji ini? Mungkin di antara jawabannya adalah bahwa
mereka hanya mengikuti tradisi dari pendahulu-pendahulu mereka,
sehingga mereka taklîd buta dalam hal ini.



Padahal mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bukan dengan
membaca kitab Barzanji, tetapi dengan mewujudkan syahâdat "Anna
Muhammadan Rasulûllâh" dengan konsekuensi membenarkan beritanya,
mentaati perintahnya, menjauhi larangannya, dan tidak beribadah kepada
Allah Azza wa Jalla melainkan dengan syari’atkan beliau. Inilah cinta
sejati kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni dengan
merealisasikan mutâba’ah (keteladanan) kepada beliau yang mulia dan
menerapkankan sunnah beliau dalam kehidupan sehari-hari.



Kemudian, bagaimana sebenarnya sikap seorang muslim terhadap kitab
Barzanji ini ? Dan bagaimana dahulu salafus shâlih, para pendahulu kita
yang mulia mencintai dan memuliakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
? Dan apakah yang mereka baca dan pelajari dalam keseharian mereka?
Apakah kitab Barzanji atau yang kitab yang lain? Semoga pembahasan
selanjutnya bisa memberikan jawabannya.



3). Para Sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Adalah Generasi Terbaik

Para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, adalah orang-orang
yang paling bersemangat dalam kebaikan dan orang yang paling sempurna
dalam mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan
mereka juga orang yang paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Tidak ada satu riwayatpun dari mereka, bahwa sepeninggal
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka berkumpul lalu membaca
sîrah dan mengenang kehidupan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
mulia. Lau kâna khairan lasabaqûna ilaih; seandainya perbuatan itu baik
niscaya mereka telah mendahuhuli kita dalam mengamalkannya.



Demikian juga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau tidak
pernah membaca sîrah beliau sendiri, tidak pernah mengajarkannya kepada
para sahabat dan juga umatnya agar membaca sîrah pada hari kelahiran
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal, tidak ada satu kebaikan
pun, melainkan telah ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan tidak ada satu keburukan pun melainkan telah dilarang oleh
beliau. Jadi, pembacaan maulid barzanji dan maulid yang lain adalah
bid’ah dhalâlah yang harus dijauhi oleh kaum muslimin.



Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:



ماَ بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ
أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرٍ مَا يَعْلُمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرُهُمْ شَرَّ مَا
يَعْلَمُهُ لَهُمْ 



“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan dia berkewajiban untuk
menunjukkan umatnya kepada perkara terbaik yang dia ketahui untuk
mereka, dan memberi peringatan atas perkara jelek yang dia ketahui
untuk mereka”. [HR Muslim]



Maka, pembacaan barzanji dan yang semisalnya bukanlah merupakan suatu
kebaikan yang ditunjukkan oleh beliau Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.



4). Kebaikan Yang Hakiki Hanya Ada Pada Ilmu Syar’i Yang Shahîh

Di antara tanda-tanda kebaikan seseorang adalah jika dia difahamkan
oleh Allah Azza wa Jalla tentang agama Islam yang murni yang bersumber
dari Alqur’ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dengan pemahaman para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
mulia.



Diriwayatkan dari Mu’awiyah bin Sufyan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:



مَنْ يُرِدِ الله ُبِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ



“Barangsiapa yang dikehendaki Allah k untuk mendapatkan kebaikan maka Dia (Allah) akan memahamkannya dalam agama”.[HR Bukhâri]



Jadi, di antara tanda-tanda seseorang akan mendapatkan kebaikan adalah
dengan mempelajari ilmu agama yang bersumber dari Alqur’ân dan hadits.
Kemudian mengamalkan dan mendakwahkannya.



Kalau ditanyakan kepada kebanyakan saudara kita, mengapa mereka asyik
membaca kitab Barzanji? Mereka pasti menjawab bahwa mereka hanya
menginginkan kebaikan. Demikian juga para pelaku bid’ah, mereka
menginginkan kebaikan dalam mengamalkan bid’ahnya. Betapa banyak orang
yang menginginkan kebaikan, namun dia tidak mampu memperolehnya,
sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu 'anhu



5). Kewajiban Untuk Berpegang Kepada Alqur’ân Dan As Sunnah

Allah Azza wa Jalla berfirman:



وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا



“Dan berpeganglah dengan tali Allah Azza wa Jalla semuanya dan janganlah berpecah belah”. [Ali-Imrân:103]

 

Syaikh as-Sa’di berkata: " Agar mereka berpegang teguh dengan tali yang
Allah Azza wa Jalla berikan. Dia menjadikannya sebagai sebab antara
mereka dan Dia, yaitu agama dan kitab-Nya. Kemudian mereka bersatu di
atasnya, tidak berpecah belah dan senantiasa seperti itu hingga mereka
mati.[2]



Alqur’ân dan as Sunnah adalah pedoman hidup kita dalam beragama dan
kunci keselamatan di dunia dan akherat. Keduanya adalah jalan untuk
meraih kebahagiaan yang abadi.



Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:



إِنِّيْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُوْا أَبَدًا : كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةُ نَبِيِّهِ



“Sesungguhnya aku telah tinggalkan pada kalian apabila kalian berpegang
teguh dengannya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya; Kitâbullah
dan Sunnah Nabi-Nya”. [HR Hâkim].



6). Keutamaan Membaca Dan Mempelajari Alqur’ân Dan Sunnah

Allah Azza wa Jalla berfirman:



” Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah k dan
mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami
anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka
itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah k
menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka
dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah k Maha Pengampun lagi Maha
Mensyukuri.” [Fâthir/ 35:29-30]



Orang-orang yang membaca kitabullâh akan mendapatkan keutamaan yang
besar. Mereka juga tidak meninggalkan membaca sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam memahaminya karena Alqur’ân dan
Sunnah keduanya tidak bisa di pisahkan.



Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah berkata: "Membaca Alqur’ân itu terbagi menjadi dua:



Pertama adalah tilâwah hukmiyyah yakni membenarkan beritanya,
menerapkan hukum-hukumnya dengan mengerjakan perintah dan menjauhi
larangannya. 



Kedua adalah tilâwah lafdziyah yakni sekedar membacanya, dan telah
terdapat dalil yang banyak dalam keutamaan membaca Alqur’ân ini, baik
membaca secara keseluruhan atau sebagian ayat-ayat tertentu saja.[3]



7). Adab-Adab Dalam Membaca Alqur’ân.

Ketika kaum muslimin gemar membaca Alqur’ân dan sibuk mempelajarinya,
maka sudah selayaknya mereka mengetahui etika dan adab dalam
bermuamalah dengan Kitâbullâh.



Di antara adab-adab dalam membaca Alqur’ân adalah:

a). Membaca dengan niat yang ikhlas.

Membaca Alqur’ân adalah ibadah yang mulia. Maka, disyaratkan untuk
mengikhlaskan niat hanya mencari wajah Allah Azza wa Jalla. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:



إِقْرَأُوْا القرُآنَ وَابْتَغُوْا بِهِ وَجْهَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ
قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ قَوْمٌ يُقِيْمُوْنَهُ إِقَامَةً الْقَدَحِ
يَتَعَجَّلُوْنَهُ وَلاَ يَتَأَجَّلُوْنَهُ



“Bacalah Alqur’ân dan carilah dengannya wajah Allah Azza wa Jalla,
sebelum datang satu kaum yang menegakkannya seperti melepaskan anak
panah (membaca dengan cepat); mereka tergesa-gesa dan tidak
mengharapkan pahala akherat”. [HR Ahmad]



Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Makna hadits ini adalah mereka
tergesa-gesa dengan upahnya yang berupa uang atau agar terkenal dan
semisalnya".[4] 



b). Membaca dengan menghadirkan hati, menghayati apa yang dibaca dan berusaha memahami maknanya.

c). Membaca dalam keadaan berwudhu’, karena hal ini lebih memuliakan Kalâmullah

d). Tidak membacanya di tempat yang kotor dan najis atau di tempat yang
bising sehingga tidak mungkin dia mendengar bacaannya dengan baik,
karena ini berarti merendahkan Kalâmullah.

e). Hendaknya membaca ta’awwudz; A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm atau ta’awwudz yang lain sebelum mulai membacanya

f). Hendaknya memperbagus suaranya.

g). Hendaknya membaca dengan tartil.

8. Melakukan sujud tilawah ketika melewati ayat-ayat  sajdah (ayat-ayat yang dianjurkan untuk sujud ketika membacanya).



8). Penutup

Kitab maulid Barzanji ternyata dipenuhi dengan kemungkaran aqidah di
dalamnya. Dan tidak selayaknya kaum muslimin asyik membacanya dalam
keadaan apapun, apalagi sebagian besar di antara mereka tidak memahami
apa yang mereka baca. Perayaan maulid nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak disyari’atkan dalam agama kita bahkan termasuk perbuatan
bid’ah. Maka, ajakan kami hendaknya kaum muslimin semuanya kembali
kepada ajaran Islam yang murni dengan berpegang kepada Alqur’ân dan
Sunnah di atas pemahaman salaful ummah dan istiqamah hingga wafat
menjemput kita. Semoga Allah Azza wa Jalla ridha terhadap kita.



[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

_________

Footnotes

[1]. Al istighâtsah fî ar-rad ‘ala Al bakri, cet maktabah dual minhaj  hal 23

[2]. Tafsîr as-Sa’di, cet. Muassasah ar Risâlah hal 112

[3]. Majâlis Syahri Ramadhân, cet. ar Riasah al Ammah hal 28

[4]. At Tibyân fî Adâbi Hamalatil Qur’ân, cet. Maktabah Ibnu Abbas -Yaman hal 68			
				
Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du.

BARZANJI KITAB INDUK MAULUD NABI SAW



SEPUTAR KITAB BARZANJI
Secara umum peringatan maulud Nabi Shallallahu alaihi wa sallam selalu
disemarakkan dengan shalawatan dan puji-pujian kepada Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam, yang mereka ambil dari kitab Barzanji
maupun Daiba, ada kalanya ditambah dengan senandung qasidah Burdah.
Meskipun kitab Barzanji lebih populer di kalangan orang awam daripada
yang lainnya, tetapi biasanya kitab Daiba, Barzanji dan Qasidah Burdah
dijadikan satu paket untuk meramaikan maulid Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam yang diawali dengan membaca Daiba, lalu Barzanji, kemudian
ditutup dengan Qasidah Burdah. Biasanya kitab Barzanji menjadi kitab
induk peringatan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan
sebagian pembacanya lebih tekun membaca kitab Barzanji daripada membaca
al-Qur'an. Maka tidak aneh jika banyak di antara mereka yang lebih
hafal kitab Barzanji bersama lagu-lagunya dibanding al-Quran. Fokus
pembahasan dan kritikan terhadap kitab Barzanji ini adalah karena
populernya, meskipun penyimpangan kitab Daiba lebih parah daripada
kitab Barzanji. Berikut uraiannya :

Secara umum kandungan kitab Barzanji terbagi menjadi tiga :
1). Cerita tentang perjalanan hidup Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
dengan satra bahasa tinggi yang terkadang tercemar dengan
riwayat-riwayat lemah.
2). Syair-syair pujian dan sanjungan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dengan bahasa yang sangat indah, namun telah tercemar dengan
muatan dan sikap ghuluw (berlebihan).
3). Shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi telah
bercampur aduk dengan shalawat bid'ah dan shalawat-shalawat yang tidak
berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

PENULIS KITAB BARZANJI
Kitab Barzanji ditulis oleh Ja'far al-Barjanzi al-Madani, dia adalah
khathib di Masjidilharam dan seorang mufti dari kalangan Syafi'iyyah.
Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan di antara karyanya adalah
Kisah Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.[1]

Sebagai seorang penganut paham tasawwuf yang bermadzhab Syiah tentu
Ja'far al-Barjanzi sangat mengkultuskan keluarga, keturunan dan Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini dibuktikan dalam doanya
“Dan berilah taufik kepada apa yang Engkau ridhai pada setiap kondisi
bagi para pemimpin dari keturunan az-Zahra di bumi Nu'man.[2]

KESALAHAN UMUM KITAB BARZANJI
Kesalahan kitab Barzanji tidaklah separah kesalahan yang ada pada kitab
Daiba` dan Qasidah Burdah. Namun, penyimpangannya menjadi parah ketika
kitab Barzanji dijadikan sebagai bacaan seperti al-Qur'an. Bahkan,
dianggap lebih mulia dari pada Al Qur'an. Padahal, tidak ada nash
syar'i yang memberi jaminan pahala bagi orang yang membaca Barzanji,
Daiba` atau Qasidah Burdah. Sementara, membaca al-Qur'an yang jelas
pahalanya, kurang diperhatikan. Bahkan, sebagian mereka lebih sering
membaca Barzanji daripada membaca al-Qur'an apalagi pada saat perayaan
maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:

Artinya : Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Qur'an maka dia akan
mendapatkan satu kebaikan yang kebaikan tersebut akan dilipatgandakan
menjadi 10 pahala. Aku tidak mengatakan Alif Lam Mim satu huruf. Akan
tetapi, Alif satu huruf, lam satu huruf mim satu huruf.[3]

KESALAHAN KHUSUS KITAB BARZANJI
Adapun kesalahan yang paling fatal dalam kitab Barzanji antara lain:

Kesalahan Pertama
Penulis kitab Barzanji meyakini melalui ungkapan syairnya bahwa kedua
orang tua Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam termasuk ahlul Iman
dan termasuk orang-orang yang selamat dari neraka bahkan ia
mengungkapkan dengan sumpah.

Dan sungguh kedua (orang tuanya) demi Allah Azza wa Jalla termasuk ahli
iman dan telah datang dalil dari hadits sebagai bukti-buktinya.

Banyak ahli ilmu yang condong terhadap pendapat in,i maka ucapkanlah salam
karena sesungguhnya Allah Maha Agung.

Dan sesungguhnya Imam al-Asy'ari menetapkan bahwa keduanya selamat menurut nash
tibyan (al-Qur'an).[4]

Jelas, yang demikian itu bertentangan dengan hadits dari Anas
Radhiyallahu 'anhu bahwa sesungguhnya seorang laki-laki bertanya:
Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di manakah ayahku
(setelah mati)? Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Dia
berada di Neraka. Ketika orang itu pergi, beliau Shallallahu alaihi wa
sallam memanggilnya dan bersabda: Sesungguhnya bapakku dan bapakmu
berada di Neraka[5]

Imam Nawawi rahimahullah berkata: Makna hadits ini adalah bahwa
barangsiapa yang mati dalam keadaan kafir, ia kelak berada di Neraka
dan tidak berguna baginya kedekatan kerabat. Begitu juga orang yang
mati pada masa fatrah (jahiliyah) dari kalangan orang Arab penyembah
berhala, maka ia berada di Neraka. Ini tidak menafikan penyampaian
dakwah kepada mereka, karena sudah sampai kepada mereka dakwah nabi
Ibrahim Alaihissalam dan yang lainnya.[6]

Semua hadits yang menjelaskan tentang dihidupkannya kembali kedua orang
tua Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan keduanya beriman serta
selamat dari neraka semuanya palsu, diada-adakan secara dusta dan lemah
sekali serta tidak ada satupun yang shahih. Para ahli hadits sepakat
akan kedhaifannya seperti Daruquthni al-Jauzaqani, Ibnu Syahin,
al-Khathib, Ibnu Ashakir, Ibnu Nashr, Ibnul Jauzi, as-Suhaili,
al-Qurthubi, at-Thabari dan Fathuddin Ibnu Sayyidin Nas.[7]

Adapun anggapan bahwa Imam al-Asyari yang berpendapat bahwa kedua orang
tua Nabi Shallallahu alaihi wa sallam beriman, harus dibuktikan
kebenarannya. Memang benar, Imam as-Suyuthi rahimahullah berpendapat
bahwa kedua orang tua Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beriman dan
selamat dari neraka, namun hal ini menyelisihi para hafidz dan para
ulama peneliti hadits.[8]

Kesalahan Kedua
Penulis kitab Barzanji mengajak para pembacanya agar mereka menyakini
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hadir pada saat membaca
shalawat, terutama ketika Mahallul Qiyam (posisi berdiri), hal itu
sangat nampak sekali di awal qiyam (berdiri) membaca:

Selamat datang, selamat datang, selamat datang, selamat datang wahai kakek
Husain selamat datang.

Bukankah ucapan selamat datang hanya bisa diberikan kepada orang yang
hadir secara fisik?. Meskipun di tengah mereka terjadi perbedaan,
apakah yang hadir jasad nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersama ruhnya ataukah ruhnya saja. Muhammad Alawi al-Maliki (seorang
pembela perayaan maulid-red) mengingkari dengan keras pendapat yang
menyatakan bahwa yang hadir adalah jasadnya. Menurutnya, yang hadir
hanyalah ruhnya.

Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berada di alam
Barzah yang tinggi dan ruhnya dimuliakan Allah Azza wa Jalla di surga,
sehingga tidak mungkin kembali ke dunia dan hadir di antara manusia.

Pada bait berikutnya semakin jelas nampak bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam diyakini hadir, meskipun sebagian mereka meyakini
yang hadir adalah ruhnya.

Wahai Nabi salam sejahtera atasmu, wahai Rasul salam sejahtera atasmu
Wahai kekasih salam sejahtera atasmu, semoga rahmat Allah tercurah atasmu.

Para pembela Barzanji seperti penulis Fikih Tradisionalis berkilah,
bahwa tujuan membaca shalawat itu adalah untuk mengagungkan nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Menurutnya, salah satu cara
mengagungkan seseorang adalah dengan berdiri, karena berdiri untuk
menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak
jarang hal itu dilakukan untuk menghormati benda mati. Misalnya, setiap
kali upacara bendera dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17
Agustus, maupun pada waktu yang lain, ketika bendera merah putih
dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan, seluruh peserta upacara
diharuskan berdiri. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati
bendera merah putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa. Jika dalam
upacara bendera saja harus berdiri, tentu berdiri untuk menghormati
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih layak dilakukan, sebagai
ekspresi bentuk penghormatan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Bukankah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah
manusia teragung yang lebih layak dihormati dari pada orang lain?[9]

Ini adalah qiyas yang sangat rancu dan rusak. Bagaimana mungkin
menghormati Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam disamakan dengan hormat
bendera ketika upacara, sedangkan kedudukan beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam sangat mulia dan derajatnya sangat agung, baik saat hidup
atau setelah wafat. Bagaimana mungkin beliau disambut dengan cara
seperti itu, sedangkan beliau berada di alam Barzah yang tidak mungkin
kembali dan hadir ke dunia lagi. Disamping itu, kehadiran Rasul
Shallallahu 'alaihi wa sallam ke dunia merupakan keyakinan batil karena
termasuk perkara ghaib yang tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan
wahyu Allah Azza wa Jalla, dan bukan dengan logika atau qiyas. Bahkan,
pengagungan dengan cara tersebut merupakan perkara bid'ah. Pengagungan
Nabi terwujud dengan cara menaatinya, melaksanakan perintahnya,
menjauhi larangannya, dan mencintainya.

Melakukan amalan bid'ah, khurafat, dan pelanggaran, bukan merupakan
bentuk pengagungan terhadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Demikian juga dengan acara perayaan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, dan perbuatan tersebut termasuk bid'ah yang tercela.

Manusia yang paling besar pengagungannya kepada Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam  adalah para sahabat Radhiyallahu 'anhum -semoga
Allah meridhai mereka- sebagaimana perkataan Urwah bin Mas'ud kepada
kaum Quraisy: Wahai kaumku.demi Allah, aku pernah menjadi utusan
kepada raja-raja besar, aku menjadi utusan kepada kaisar, aku pernah
menjadi utusan kepada Kisra dan Najasyi, demi Allah aku belum pernah
melihat seorang raja yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana
pengikut Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam mengagungkan Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidaklah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam meludah kemudian mengenai telapak tangan seseorang di antara
mereka, melainkan mereka langsung mengusapkannya ke wajah dan kulit
mereka. Apabila ia memerintahkan suatu perkara, mereka bersegera
melaksanakannya. Apabila beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu,
mereka saling berebut bekas air wudhunya. Apabila mereka berkata,
mereka merendahkan suaranya dan mereka tidak berani memandang langsung
kepadanya sebagai wujud pengagungan mereka[10]

Bentuk pengagungan para sahabat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam di atas sangat besar. Namun, mereka tidak pernah mengadakan
acara maulid dan kemudian berdiri dengan keyakinan ruh Rasul
Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang hadir di tengah mereka. Seandainya
perbuatan tersebut disyariatkan, niscaya mereka tidak akan
meninggalkannya.

Jika para pembela maulid tersebut berdalih dengan hadits Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam,Berdirilah kalian untuk tuan atau orang
yang paling baik di antara kalian [11], maka alasan ini tidak tepat.

Memang benar Imam Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa pada hadits di
atas terdapat anjuran untuk berdiri dalam rangka menyambut kedatangan
orang yang mempunyai keutamaan[12]. Namun, tidak dilakukan kepada orang
yang telah wafat meskipun terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Bahkan pendapat yang benar, hadits tersebut sebagai anjuran dan
perintah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada orang-orang Anshar
Radhiyallahu 'anhum agar berdiri dalam rangka membantu Sa'ad bin Muadz
Radhiyallahu 'anhu turun dari keledainya, karena dia sedang luka parah,
bukan untuk menyambut atau menghormatinya, apalagi mengagungkannya
secara berlebihan[13].

Kesalahan Ketiga
Penulis kitab Barzanji mengajak untuk mengkultuskan Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam secara berlebihan dan menjadikan Nabi sebagai tempat
untuk meminta tolong dan bantuan sebagaimana pernyataannya.

Padamu sungguh aku telah berbaik sangka. Wahai pemberi kabar gembira wahai
pemberi peringatan.
Maka tolonglah aku dan selamatkanlah aku. Wahai pelindung dari neraka Sa'ir
Wahai penolongku dan pelindungku. Dalam perkara-perkara yang sangat penting
(suasana susah dan genting)

Sikap berlebihan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
mengangkatnya melebihi derajat kenabian dan menjadikannya sekutu bagi
Allah Azza wa Jalla dalam perkara ghaib dengan memohon kepada beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bersumpah dengan nama beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan sikap yang sangat dibenci
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan termasuk perbuatan
syirik. Do'a dan tindakan tersebut menyakiti serta menyelisihi petunjuk
dan manhaj dakwah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan
menyelisihi pokok ajaran Islam yaitu tauhîd. Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam telah mengkhawatirkan akan terjadinya hal tersebut, sehingga
ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sakit yang membawa beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kematian, beliau bersabda:
“Janganlah kamu berlebihan dalam mengagungkanku sebagaimana kaum
Nasrani berlebihan ketika mengagungkan Ibnu Maryam. Aku hanyalah
seorang hamba, maka katakanlah aku adalah hamba dan utusan-Nya.[14]

Telah dimaklumi, bahwa kaum Nasrani menjadikan Nabi Isa Alaihissalam
sebagai sekutu bagi Allah Azza wa Jalla dalam peribadatan mereka.
Mereka berdoa kepada Nabi-nya dan meninggalkan berdoa kepada Allah Azza
wa Jalla, padahal ibadah tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah
Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan
peringatan kepada umatnya agar tidak menjadikan kuburan beliau sebagai
tempat berkumpul dan berkunjung, sebagaimana dalam sabdanya Shallallahu
'alaihi wa sallam : Janganlah kamu jadikan kuburanku tempat berkumpul,
bacalah salawat atasku, sesunggguhnya salawatmu sampai kepadaku
dimanapun kamu berada.[15]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan peringatan keras kepada
umatnya tentang sikap berlebihan dalam menyanjung dan mengagungkan
beliau Shallallahu 'alaihi wa salllam. Bahkan, ketika ada orang yang
berlebihan dalam mengagungkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
mereka berkata: Engkau Sayyid kami dan anak sayyid kami, engkau orang
terbaik di antara kami, dan anak dari orang terbaik di antara kami,
maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada mereka:
Katakanlah dengan perkataanmu atau sebagiannya, dan jangan biarkan
syaitan menggelincirkanmu.[16]

Termasuk perbuatan yang berlebihan dan melampui batas terhadap Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bersumpah dengan nama beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena sumpah adalah bentuk pengagungan
yang tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah Azza wa Jalla. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa bersumpah
hendaklah bersumpah dengan nama Allah Azza wa Jalla, jikalau tidak bisa
hendaklah ia diam.[17]

Cukuplah dengan hadits tentang larangan bersikap berlebihan dalam
mengagungkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi dalil yang
tidak membutuhkan tambahan dan pengurangan. Bagi setiap orang yang
ingin mencari kebenaran, niscaya ia akan menemukannya dalam ayat dan
hadits tersebut, dan hanya Allah-lah yang memberi petunjuk.

Kesalahan Keempat
Penulis kitab Barzanji menurunkan beberapa shalawat bid'ah yang
mengandung pujian yang sangat berlebihan kepada Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam.

Para pengagum kitab Barzanji menganggab bahwa membaca shalawat kepada
nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan ibadah yang
sangat terpuji. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :


"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat
untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hai orang-orang yang beriman,
bershalawatlah kamu untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya". [al-Ahzab/ 33:56]

Ayat ini yang mereka jadikan sebagai dalil untuk membaca kitab tersebut
pada setiap peringatan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Padahal, ayat di atas merupakan bentuk perintah kepada umat Islam agar
mereka membaca shalawat di manapun dan kapanpun tanpa dibatasi saat
tertentu seperti pada perayaan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam.

Tidak dipungkiri bahwa bersalawat atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam terutama ketika mendengar nama Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam disebut sangat dianjurkan. Apabila seorang muslim meninggalkan
salawat atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia akan terhalang dari
melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan manfaat, baik di dunia dan
akhirat, yaitu:

1). Terkena doa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu sabda beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam : Sungguh celaka bagi seseorang yang
disebutkan namaku di sisinya, namun ia tidak bersalawat atasku.[18]

2). Mendapatkan gelar bakhil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Orang bakhîl adalah
orang yang ketika namaku disebut di sisinya, ia tidak bersalawat
atasku[19].

). Tidak mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah Azza wa
Jalla, karena meninggalkan membaca salawat dan salam atas Nabi n dan
keluarganya. Nabi n bersabda: "Barangsiapa membaca salawat atasku
sekali, maka Allah Azza wa Jalla bersalawat atasnya sepuluh kali.[20]
4). Tidak mendapatkan keutamaan salawat dari Allah Azza wa Jalla dan para
Malaikat.

Allah Azza wa Jalla berfirman:"Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan
malaikat-Nya memohonkan ampunan untukmu, supaya Dia mengeluarkan kamu
dari kegelapan kepada cahaya yang terang dan Dia Maha Penyayang kepada
orang-orang yang beriman" [Al-Ahzab/ 33:43]

Bahkan, membaca shalawat menjadi sebab lembutnya hati, karena membaca
shalawat termasuk bagian dari dzikir. Dengan dzikir, hati menjadi
tenteram dan damai sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah Azza wa Jalla. Ingatlah, hanya dengan mengingat
Allah-lah hati menjadi tenteram. (Ar-Ra'du/ 13:28). Tetapi dengan
syarat membaca shalawat secara benar dan ikhlas karena Allah Azza wa
Jalla semata, bukan shalawat yang dikotori oleh bid'ah dan khufarat
serta terlalu berlebihan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, sehingga bukan mendapat ketenteraman di dunia dan pahala di
akherat, melainkan sebaliknya, mendapat murka dan siksaan dari Allah
Azza wa Jalla. Siksaan tersebut bukan karena membaca shalawat, namun
karena menyelisihi sunnah ketika membacanya. Apalagi, dikhususkan pada
malam peringatan maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja, yang
jelas-jelas merupakan perayaan bid'ah dan penyimpangan terhadap Syariat.

Kesalahan Kelima
Penulis kitab Barzanji juga menyakini tentang Nur Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam, sebagaimana yang terungkap dalam syairnya:

Nur Mustafa (Muhammad) terus berpindah-pindah dari sulbi yang bersih kepada yang
sulbi suci nan murni.

Bandingkanlah dengan perkataan kaum zindiq dan sufi, seperti al-Hallaj
yang berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki cahaya yang
kekal abadi dan terdahulu keberadaannya sebelum diciptakan dunia. Semua
cabang ilmu dan pengetahuan di ambil dari cahaya tersebut dan para Nabi
sebelum Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menimba ilmu dari cahaya
tersebut.

Demikian juga perkataan Ibnul Arabi Attha'i bahwa semua Nabi sejak Nabi
Adam Alaihissalam hingga Nabi terakhir mengambil ilmu dari cahaya
kenabian Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu penutup para
Nabi.[2]

Perlu kita diketahui bahwa ghuluw itu banyak sekali macamnya.
Kesyirikan ibarat laut yang tidak memiliki tepi. Kesyirikan tidak hanya
terbatas pada perkataan kaum Nasrani saja, karena umat sebelum mereka
juga berbuat kesyirikan dengan menyembah patung, sebagaimana perbuatan
kaum jahiliyah. Di antara mereka tidak ada yang mengatakan kepada Tuhan
mereka seperti perkataan kaum Nasrani kepada Nabi Isa Alaihissalam ,
seperti ; dia adalah Allah, anak Allah, atau menyakini prinsip trinitas
mereka. Bahkan mereka mengakui bahwa tuhan mereka adalah kepunyaan
Allah Azza wa Jalla dan di bawah kekuasaan-Nya. Namun mereka menyembah
tuhan-tuhan mereka dengan keyakinan bahwa tuhan-tuhan mereka itu mampu
memberi syafaat dan menolong mereka.

Demikian uraian sekilas tentang sebagian kesalahan kitab Barzanji, semoga
bermanfaat.[23]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnote
[1]. Al-Munjid fil A'lam, 125
[2]. Majma'tul Mawalid, hal. 132.
[3]. HR.Tirmidzi dan dishahîhkan al Albâni di dalam shâhihul jam'i hadits
yang ke 6468
[4]. Lihat Majma'atul Mawalid Barzanji, hal. 101.
[5]. Shahih diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (348) dan Abu Daud dalam
Sunannya (4718).
[6]. Lihat Minhaj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, 3/ 74.
[7]. Aunul Ma'bud, Abu Thayyib (12/ 324)
[8]. Aunul Ma'bud, Abu Thayyib (12/ 324)
[9]. Lihat Fikih Tradisionalisme, Muhyiddin Abdusshomad (277-278)
[10]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari : 3/187, no : 2731, 2732, al-Fath 5/388.
[11]. Shahih diriwayatkan Imam Bukhâri dalam Shahihnya (3043) dan Imam Muslim
dalam Shahihnya (1768)
[12]. Lihat Minhaj Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi, juz XII, hal. 313.
[13]. Lihat Ikmalil Mua'lim Bi Syarah Shahih Muslim, Qadhi Iyadh, 6/ 105.
[14]. Shahaih diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya (3445)
[15]. Shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shahih
(2042) dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Ghayatul Mar'am : 125
[16]. Shahih, dishahihkan Oleh Albani dalam Ghayatul Mar'am 127, lihatlah
takhrij beliau di dalamnya.
[17]. Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya (2679) dan Imam
Muslim dalam Shahihnya (1646)
[18]. Shahih, diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (3545), Imam
Ahmad dalam Musnadnya 2/254, dan dishahihkan oleh Albani dalam irwa' : 6
[19]. Shahih diriwayatkan Imam Tirmidzi dalam Sunannya (3546), Imam
Ahmad dalam Musnadnya 1/201 dan dishahihkan Albani dalam irwa' : 5
[20]. Shahih diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya (284).
[21]. Majma'atul Mawalid(101).
[22]. Lihat perinciannya dalam kitab Mahabbatur Rasulullsh oleh Abdur Rauf
Utsman (169-192).
[23]. Insya Allah, untuk lebih jelasnya akan penulis sampaikan dalam
buku Ritual Tradisional. Semoga Allah memudahkan penulisan buku ini
yang memuat 40 bid'ah populer di kalangan kaum tradisional di Indonesia
yang meliputi, Shalawatan, Barzanjian, Daibaan, Yasinan, Tahlilan,
Ratiban, Manaqiban, Rajaban, Sya'banan, Selamatan dan bid'ah-bid'ah
lain.
_________________________________________________________________

Kamis, 01 September 2011

SEHARUSNYA KITA SELALU MENANGIS

Pernahkah Anda menangis -dalam keadaan sendirian- karena takut siksa Allâh Ta’ala? Ketahuilah, sesungguhnya hal itu merupakan jaminan selamat dari neraka. Menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala akan mendorong seorang hamba untuk selalu istiqâmah di jalan-Nya, sehingga akan menjadi perisai dari api neraka. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
“Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis
karena takut kepada Allâh sampai air susu kembali ke dalam teteknya.
Dan debu di jalan Allâh tidak akan berkumpul dengan asap neraka Jahannam”.
[1]

MENGAPA HARUS MENANGIS?

Seorang Mukmin yang mengetahui keagungan Allâh Ta’ala dan hak-Nya, setiap dia melihat dirinya banyak melalaikan kewajiban dan menerjang larangan, akan khawatir dosa-dosa itu akan menyebabkan siksa Allâh Ta’ala kepadanya.

Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
"Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya
seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung,
dia khawatir gunung itu akan menimpanya.
Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya
seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya,
dia mengusirnya dengan tangannya –begini–, maka lalat itu terbang”.
(HR. at-Tirmidzi, no. 2497 dan dishahîhkan oleh al-Albâni rahimahullâh)

Ibnu Abi Jamrah rahimahullâh berkata,
“Sebabnya adalah, karena hati seorang Mukmin itu diberi cahaya. Apabila dia melihat pada dirinya ada sesuatu yang menyelisihi hatinya yang diberi cahaya, maka hal itu menjadi berat baginya. Hikmah perumpamaan dengan gunung yaitu apabila musibah yang menimpa manusia itu selain runtuhnya gunung, maka masih ada kemungkinan mereka selamat dari musibah-musibah itu. Lain halnya dengan gunung, jika gunung runtuh dan menimpa seseorang, umumnya dia tidak akan selamat. Kesimpulannya bahwa rasa takut seorang Mukmin (kepada siksa Allâh Ta’ala -pen) itu mendominasinya, karena kekuatan imannya menyebabkan dia tidak merasa aman dari hukuman itu. Inilah keadaan seorang Mukmin, dia selalu takut (kepada siksa Allâh-pen) dan bermurâqabah (mengawasi Allâh). Dia menganggap kecil amal shalihnya dan khawatir terhadap amal buruknya yang kecil”.
(Tuhfatul Ahwadzi, no. 2497)

Apalagi jika dia memperhatikan berbagai bencana dan musibah yang telah Allâh Ta’ala timpakan kepada orang-orang kafir di dunia ini, baik dahulu maupun sekarang. Hal itu membuatnya tidak merasa aman dari siksa Allâh Ta’ala.

Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:
Dan begitulah adzab Rabbmu apabila Dia mengadzab
penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim.
Sesungguhnya adzab-Nya sangat pedih lagi keras.
Sesungguhnya pada peristiwa itu benar-benar terdapat pelajaran
bagi orang-orang yang takut kepada adzab akhirat.
Hari Kiamat itu adalah suatu hari
dimana manusia dikumpulkan untuk (menghadapi)-Nya,
dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala makhluk).
Dan Kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai waktu yang tertentu.
Saat hari itu tiba, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya;
maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang bahagia.
Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka,
di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih)
”.
(Qs Hûd/11:102-106)

Ketika dia merenungkan berbagai kejadian yang mengerikan pada hari Kiamat, berbagai kesusahan dan beban yang menanti manusia di akhirat, semua itu pasti akan menggiringnya untuk takut kepada Allâh Ta’ala al-Khâliq.

Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:
Hai manusia, bertakwalah kepada Rabbmu.
Sesungguhnya kegoncangan hari Kiamat itu
adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat).
(Ingatlah), pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu,
semua wanita yang menyusui anaknya lalai terhadap anak yang disusuinya,
dan semua wanita yang hamil gugur kandungan.
Kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk,
padahal sebenarnya mereka tidak mabuk.
Akan tetapi adzab Allâh itu sangat keras
”.
(Qs al-Hajj/22:1-2)

Demikianlah sifat orang-orang yang beriman. Di dunia, mereka takut terhadap siksa Rabb mereka, kemudian berusaha menjaga diri dari siksa-Nya dengan takwa, yaitu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka, Allâh Ta’ala memberikan balasan sesuai dengan jenis amal mereka. Dia memberikan keamanan di hari Kiamat dengan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya.

Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:
Dan sebagian mereka (penghuni surga-pent) menghadap
kepada sebagian yang lain; mereka saling bertanya.
Mereka mengatakan:
“Sesungguhnya kami dahulu sewaktu berada di tengah-tengah keluarga,
kami merasa takut (akan diadzab)”.
Kemudian Allâh memberikan karunia kepada kami
dan memelihara kami dari azab neraka.
Sesungguhnya kami dahulu beribadah kepada-Nya.
Sesungguhnya Dia-lah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang
”.
(Qs ath-Thûr/52:25-28)

ILMU ADALAH SEBAB TANGISAN KARENA ALLÂH TA'ALA

Semakin bertambah ilmu agama seseorang, semakin tambah pula takutnya terhadap keagungan Allâh Ta’ala.
Allâh Ta’ala berfirman yang artinya:
Dan demikian (pula) di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak,
ada yang bermacam-macam warna (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allâh di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah Ulama.
Sesungguhnya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Pengampun
”.
(Qs Fâthir/35:28)

Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
Surga dan neraka ditampakkan kepadaku,
maka aku tidak melihat kebaikan dan keburukan seperti hari ini.
Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui,
kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis
”.
Anas bin Mâlik radhiyallâhu'anhu –perawi hadits ini- mengatakan,
Tidaklah ada satu hari pun yang lebih berat bagi para Sahabat selain hari itu.
Mereka menutupi kepala mereka sambil menangis sesenggukan
”.
(HR. Muslim, no. 2359)

Imam Nawawi rahimahullâh berkata,
“Makna hadits ini, ‘Aku tidak pernah melihat kebaikan sama sekali melebihi apa yang telah aku lihat di dalam surga pada hari ini. Aku juga tidak pernah melihat keburukan melebihi apa yang telah aku lihat di dalam neraka pada hari ini. Seandainya kamu melihat apa yang telah aku lihat dan mengetahui apa yang telah aku ketahui, semua yang aku lihat hari ini dan sebelumnya, sungguh kamu pasti sangat takut, menjadi sedikit tertawa dan banyak menangis”.
(Syarh Muslim, no. 2359)

Hadits ini menunjukkan anjuran menangis karena takut terhadap siksa Allâh Ta’ala dan tidak memperbanyak tertawa, karena banyak tertawa menunjukkan kelalaian dan kerasnya hati.

Lihatlah para Sahabat Nabi radhiyallâhu'anhum, begitu mudahnya mereka tersentuh oleh nasehat! Tidak sebagaimana kebanyakan orang di zaman ini. Memang, mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya, paling banyak pemahaman agamanya, paling cepat menyambut ajaran agama. Mereka adalah Salafus Shâlih yang mulia, maka selayaknya kita meneladani mereka.
(Lihat Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhus Shâlihin 1/475; no. 41)

Seandainya kita mengetahui bahwa tetesan air mata karena takut kepada Allâh Ta’ala merupakan tetesan yang paling dicintai oleh Allâh Ta’ala, tentulah kita akan menangis karena-Nya atau berusaha menangis sebisanya. Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjelaskan keutamaan tetesan air mata ini dengan sabda Beliau:
hadist
Tidak ada sesuatu yang yang lebih dicintai oleh Allâh
daripada dua tetesan dan dua bekas.
Tetesan yang berupa air mata karena takut kepada Allâh
dan tetesan darah yang ditumpahkan di jalan Allâh.
Adapun dua bekas, yaitu bekas di jalan Allâh
dan bekas di dalam (melaksanakan) suatu kewajiban
dari kewajiban-kewajiban-Nya
”.

Namun yang perlu kita perhatikan juga bahwa menangis tersebut adalah benar-benar karena Allâh Ta’ala, bukan karena manusia, seperti dilakukan di hadapan jama’ah atau bahkan dishooting TV dan disiarkan secara nasional. Oleh karena itu Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjanjikan kebaikan besar bagi seseorang yang menangis dalam keadaan sendirian. Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
hadist
Tujuh (orang) yang akan diberi naungan oleh Allâh
pada naungan-Nya di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. ......
(di antaranya): Seorang laki-laki yang menyebut Allâh
di tempat yang sepi sehingga kedua matanya meneteskan air mata
”.
(HR. al-Bukhâri, no. 660; Muslim, no. 1031)

Hari Kiamat adalah hari pengadilan yang agung. Hari ketika setiap hamba akan mempertanggung-jawabkan segala amal perbuatannya. Hari saat isi hati manusia akan dibongkar, segala rahasia akan ditampakkan di hadapan Allâh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Perkasa. Maka kemana orang akan berlari? Alangkah bahagianya orang-orang yang akan mendapatkan naungan Allâh Ta’ala pada hari itu. Dan salah satu jalan keselamatan itu adalah menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullâh berkata,
Wahai saudaraku, jika engkau menyebut Allâh Ta’ala, sebutlah Rabb-mu dengan hati yang kosong dari memikirkan yang lain. Jangan pikirkan sesuatu pun selain-Nya. Jika engkau memikirkan sesuatu selain-Nya, engkau tidak akan bisa menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala atau karena rindu kepada-Nya. Karena, seseorang tidak mungkin menangis sedangkan hatinya tersibukkan dengan sesuatu yang lain. Bagaimana engkau akan menangis karena rindu kepada Allâh Ta’ala dan karena takut kepada-Nya jika hatimu tersibukkan dengan selain-Nya?".

Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Seorang laki-laki yang menyebut Allâh di tempat yang sepi”,
yaitu hatinya kosong dari selain Allâh Ta’ala,
badannya juga kosong (dari orang lain),
dan tidak ada seorangpun di dekatnya
yang menyebabkan tangisannya menjadi riyâ’ dan sum’ah.
Namun, dia melakukan dengan ikhlas dan konsentrasi
”.
(Syarh Riyâdhus Shâlihîn 2/342, no. 449)

Setelah kita mengetahui hal ini, maka alangkah pantasnya kita mulai menangis karena takut kepada Allâh Ta’ala.
Wallâhul Musta’ân.
[1]
HR. at-Tirmidzi, no. 1633, 2311; an-Nasâ‘i 6/12; Ahmad 2/505; al-Hâkim 4/260; al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 14/264.
Syaikh Salîm al-Hilâli hafizhahullâh mengatakan, “Shahîh lighairihi”. Lihat penjelasannya dalam kitab Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhus Shâlihîn 1/517; no. 448)

Kesamaan Para Penentang Dakwah Rasul

Allâh Ta'âla mengutus para rasul-Nya dengan tugas yang sama, menyeru manusia agar beribadah kepada Allâh Ta'âla semata dan menjauhi thâghût.
Allâh Ta'âla berfirman:
(Qs an-Nahl/16:36)
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul
pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
“Sembahlah Allâh (saja), dan jauhilah thâghût”,
maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allâh Ta'âla
dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.
Maka, berjalanlah kamu di muka bumi
dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).

(Qs an-Nahl/16:36)
Dakwah para rasul ini merupakan seruan menuju hikmah diciptakannya manusia di dunia ini, sebagaimana firman-Nya:
(Qs adz-Dzâriyât/51:56)
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.

(Qs adz-Dzâriyât/51:56)

Maksudnya, Allâh Ta'âla menciptakan mereka (jin dan manusia) untuk beribadah kepada-Nya semata dan menjauhi peribadahan kepada selain-Nya.

SEMUA UMAT MENENTANG DENGAN ALASAN YANG SAMA
Semua umat menentang dakwah para rasul yang mulia dengan hujjah (argumen) yang sama, yaitu mengikuti kebiasaan nenek moyang mereka. Dahulu, orang-orang jahiliyah di Mekah –di zaman Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam– melakukan perbuatan syirik dengan tanpa bukti, tanpa petunjuk, dan tanpa argumen yang nyata, maka Allâh Ta'âla berfirman mengingkari mereka:[1]
(Qs az-Zukhruf/43:21-22)
Atau adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum al-Qur‘ân,
lalu mereka berpegang dengan kitab itu?
Bahkan mereka berkata:
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama,
dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk
dengan (mengikuti) jejak mereka.”

(Qs az-Zukhruf/43:21-22)

Inilah alasan perbuatan syirik mereka, yaitu mengikuti jejak nenek moyang. Oleh karena itu, Allâh Ta'âla menjelaskan bahwa alasan mereka itu juga merupakan alasan semua orang kafir pada zaman dahulu:
(Qs az-Zukhruf/43:23)
Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu
seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri,
melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata:
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama
dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.”

(Qs az-Zukhruf/43:23)

ARGUMEN KAUM NUH ‘ALAIHISSALAM
Nabi Nuh 'alaihissalam adalah rasul pertama kali yang diutus Allâh Ta'âla di muka bumi. Kaum beliau adalah orang-orang musyrik pertama kali di dunia ini. Beliau menyeru umat beliau untuk mengesakan ibadah hanya bagi Allâh Ta'âla semata, sebagaimana firman-Nya:
(Qs al-Mukminûn/23:23)
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh 'alaihissalam kepada kaumnya,
lalu ia berkata:
“Hai kaumku, sembahlah Allâh,
(karena) sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia.
Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?”

(Qs al-Mukminûn/23:23)

Namun kaumnya mengingkari kerasulan beliau, dengan alasan bahwa mereka tidak pernah mendengar seruan Nabi Nûh 'alaihissalam itu pada masa nenek moyang mereka.
Allâh Ta'âla berfirman memberitakan hal ini:
(Qs al-Mukminûn/23:24)
Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab:
“Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu,
yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kamu.
Dan kalau Allâh menghendaki,
tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat.
Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini
pada masa nenek moyang kami yang dahulu”.

(Qs al-Mukminûn/23:24)

ARGUMEN SUKU ‘AD, KAUM NABI HUD ‘ALAIHISSALAM
Setelah kehancuran kaum Nabi Nûh 'alaihissalam, manusia menjadi banyak kembali. Muncul kemusyrikan pada suku ‘Ad, maka Allâh Ta'âla mengutus Nabi Hûd 'alaihissalam:
(Qs al-A’râf/7:65)
Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Ad saudara mereka, Hûd.
Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allâh,
sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya.
Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?”

(Qs al-A’râf/7:65)

Kemudian lihatlah bantahan suku ‘Ad ini kepada Nabinya, mereka berargumen membela perbuatan syirik mereka dengan kebiasaan nenek moyang mereka!
(Qs al-A’râf/7:70)
Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami,
agar kami hanya menyembah Allâh saja dan
meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?
Maka datangkanlah azab yang kamu ancamkan kepada kami
jika kamu termasuk orang-orang yang benar.”

(Qs al-A’râf/7:70)

ARGUMEN SUKU TSAMUD, KAUM NABI SHALIH ‘ALAIHISSALAM
Demikian juga suku Tsamûd, mereka melakukan syirik dengan sebab taqlîd kepada nenek moyang mereka. Dengan hikmah-Nya, Allâh Ta'âla mengutus Nabi Shâlih 'alaihissalam kepada mereka:
Dan kepada Tsamûd (Kami utus) saudara mereka Shâleh. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allâh, sekali-kali tidak ada bagimu tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah)dan menjadikan kamu pemakmurnya,karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya tuhanku amat dekat lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (Qs Hûd/11:61)

Namun bagaimana sikap suku Tsamûd? Mereka tidak berbeda dengan para pendahulu mereka sesama orang-orang kafir. Mereka menentang dakwah Nabi Shâlih 'alaihissalam dengan alasan mengikuti nenek moyang!
(Qs Hûd/11:62)
Kaum Tsamûd berkata:
“Hai Shâlih, sesungguhnya sebelum ini kamu
adalah seorang di antara kami yang kami harapkan,
apakah kamu melarang kami untuk menyembah
apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?
dan sesungguhnya kami betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan
terhadap agama yang kamu serukan kepada kami.”

(Qs Hûd/11:62)

ARGUMEN KAUM IBRAHIM ‘ALAIHISSALAM
Allâh Ta'âla berfirman mengisahkan dakwah Nabi Ibrâhîm 'alaihissalam kepada bapaknya dan kaumnya:
(Qs al-Anbiyâ’/21:51-52)
Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrâhîm
hidayah kebenaran sebelum (Mûsa dan Hârûn)
dan Kami mengetahui (keadaan)nya.
(Ingatlah), ketika Ibrâhîm berkata kepada bapaknya dan kaumnya:
“Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya?”

(Qs al-Anbiyâ’/21:51-52)

Maka apakah jawaban mereka kepada Nabi Ibrâhîm?
(Qs al-Anbiyâ’/21:53)
Mereka menjawab:
“Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya.”

(Qs al-Anbiyâ’/21:53)

Mendengar jawaban klasik tersebut, dengan tegas Nabi Ibrâhîm memvonis mereka dengan kesesatan yang nyata.
(Qs al-Anbiyâ’/21:54)
Ibrâhîm 'alaihissalam berkata:
“Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata.”

(Qs al-Anbiyâ’/21:54)

ARGUMEN KAUM SYU’AIB ‘ALAIHISSALAM
Kaum yang lain adalah kaum Nabi Syu’aib 'alaihissalam di Madyan, Allâh Ta'âla berfirman:
(Qs Hûd/11:84)
Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syu’aib 'alaihissalam .
Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allâh Ta'âla ,
sekali-kali tiada tuhan bagimu selain Dia.
Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan,
sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu)
dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat).”
(Qs Hûd/11:84)
Bantahan mereka serupa dengan orang-orang kafir sebelumnya.
Mereka berkata: “Hai Syu’aib,
apakah shalatmu (agamamu) menyuruh kamu agar kami
meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami
atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki pada harta kami.
Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal.”

(Qs Hûd/11:87)

KEADAAN KAUM NABI YUSUF ‘ALAIHISSALAM
Nabi Yûsuf 'alaihissalam diutus kepada bangsa Mesir. Beliau sudah memulai dakwah ketika berada di dalam penjara. Beliau mengingatkan kawannya di penjara bahwa kemusyrikan yang dilakukan oleh bangsa Mesir waktu itu hanyalah dibuat oleh mereka sendiri dan nenek moyang mereka.
Allâh Ta'âla mengisahkan perkataan beliau 'alaihissalam :
(Qs Yûsuf/12:39-40)
Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik,
tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu
ataukah Allâh Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?
Kamu tidak menyembah yang selain Allâh kecuali hanya
(menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya.
Allâh tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu.

(Qs Yûsuf/12:39-40)

ARGUMEN KAUM NABI MUSA ‘ALAIHISSALAM
Nabi Mûsa 'alaihissalam dan Nabi Hârûn 'alaihissalam juga diutus kepada bangsa Mesir selain kepada Bani Israil.
Allâh Ta'âla berfirman tentang keduanya:
(Qs Yûnus/10:75)
Kemudian sesudah rasul-rasul itu, Kami utus Mûsa dan Hârûn
kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya,
dengan (membawa) tanda-tanda (mukjizat-mukjizat) Kami,
maka mereka menyombongkan diri
dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.

(Qs Yûnus/10:75)

Namun ternyata Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya menolak dakwah kedua Rasul mulia itu dengan argumen yang sama seperti orang-orang kafir yang lain.
(Qs Yûnus/10:78)
Mereka berkata:
“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami
dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya,
dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi?
Kami tidak akan mempercayai kamu berdua.”

(Qs Yûnus/10:78)

ARGUMEN KAUM NABI MUHAMMAD SHALLALLÂHU 'ALAIHI WASALLAM
Rasul terakhir yang Allâh Ta'âla utus di dunia ini mengalami hal yang sama. Kaum Quraisy lebih memilih mengikuti nenek moyang mereka daripada mengikuti petunjuk Allâh Ta'âla .
Allâh Ta'âla berfirman:
(Qs Luqmân/31:21)
Dan apabila dikatakan kepada mereka:
“Ikutilah apa yang diturunkan Allâh.”
Mereka menjawab: “(Tidak),
tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati
bapak-bapak kami mengerjakannya.”
Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka)
walaupun syaitan itu menyeru mereka
ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?

(Qs Luqmân/31:21)

Bahkan tokoh-tokoh Qurasiy berusaha menghalangi keislaman Abu Thâlib, paman Nabi, dengan argumen mengikuti agama orang tuanya. Maka akhirnya, Abu Thâlib lebih memilih kekafiran daripada keimanan. Hal ini dikisahkan di dalam hadits berikut ini:
hadits
Dari Sa’îd bin al-Musayyab, dari bapaknya, dia berkata:
“Ketika kematian mendatangi Abu Thâlib,
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam menjenguknya.
Beliau mendapati Abu
Jahal dan `Abdullâh bin Abi Umayyah bin al-Mughîrah di dekat Abu Thâlib.
Beliau berkata: “Wahai pamanku, katakanlah Lâ ilâha illallâh,
sebuah kalimat yang aku akan berhujjah dengannya untukmu di sisi Allâh Ta'âla !”
Abu Jahal dan Abdullâh bin Abi Umayyah mengatakan:
“(Wahai Abu Thâlib) apakah engkau akan meninggalkan agama Abdul Muththalib?”.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam terus-menerus
menawarkan kalimat itu kepadanya,
dan keduanya juga mengulangi perkataan tersebut.
Sehingga akhir perkataan yang dikatakan Abi Thâlib kepada mereka
bahwa dia di atas agama Abdul Muththalib.
Dia enggan mengatakan Lâ ilâha illallâh.”
(HR. Bukhâri no. 4772; Muslim no. 24)

Demikian pula, setelah beliau berhijrah ke Madinah. Orang-orang Yahudi yang termasuk umat dakwah beliau shallallâhu 'alaihi wasallam, lebih memilih mengikuti nenek moyang mereka daripada mengikuti petunjuk yang beliau bawa dari Allâh Ta'âla .
(Qs al-Baqarah/2:170)
Dan apabila dikatakan kepada mereka:
“Ikutilah apa yang telah diturunkan Allâh Ta'âla ,”
mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti
apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”.
“(Apakah mereka akan mengikuti juga),
walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun,
dan tidak mendapat petunjuk?”

(Qs al-Baqarah/2:170)

PENUTUP
Setelah kita mengetahui sikap para umat terhadap para rasul mereka, yang menentang al-haq dengan argumen mengikuti nenek moyang, maka tidak heran betapa banyak masyarakat sekarang yang menolak al-haq dengan argumen tradisi orang tua, warisan leluhur, adat kebiasaan suku, atau semacamnya.
Namun yang aneh ada sebagian kaum Muslimin yang mengikuti pola pikir jahiliyah ini dan meninggalkan al-Kitab dan Sunnah, padahal hujjah
telah datang kepada mereka. Maka dengan sedikit tulisan ini, semoga menyadarkan kita bahwa nilai kebenaran itu ukurannya adalah wahyu yang dibawa Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam dengan wujud al-Kitab dan Sunnah, dengan pemahaman yang benar dari para ulama Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah. Dan kita tidak boleh menentangnya dengan ajaran dari guru, tokoh, nenek moyang, atau lainnya. Wallâhul Musta’ân.

RUJUKAN:
  1. Mu’jamul Mufahras li Alfâzhil Qur’ân, Syaikh Muhammad Fuâd Abdul Bâqi
  2. Muqaddimah tahqîq kitab Tath-hîrul I’tiqâd dan Syarhus Shudûr, syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbâd
  3. Tafsir Ibnu Katsîr
  4. Shahih Bukhari
  5. Shahih Muslim
  6. Dan lain-lain


[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsîr pada surat az-Zukhruf, ayat 21


 
Powered by Blogger