Halaman

Sabtu, 22 Oktober 2011

Curahan hati untuk Tuhan

Tuhan, jika memang ini adalah bayaran yang harus ku terima
aku ikhlas menerimanya Tuhan ..
   Aku tulus menyayangi setiap mereka yang memandangku sebelah mata
   Ku tak salah kan cinta ku padanya,
   Karna rasa ini tulus dari hati yang terdalam
   Yang kan terus ku jaga dan peluk erat rasa ini hingga takutku hilang dan ternoda
   Namun haruskan hati ku yang terluka ?
Jika memang mencintainya adalah suatu kesalahan,
Aku mohon maaf kepada mu ya Tuhan ..
Tapi ku bersumpah demi apapun jika aku benar - benar menyayanginya
Tulus dari perasaan ku, ku jaga ia dengan segenap hati ku
   Tuhan, mungkin dengan cara ini ia tau jika aku mencintainya
   Kalaupun suatu saat nanti ku tak lagi bersamanya,
   Tetap satukan hati kami dalam satu cinta yang ku jaga
   Dan biarkan air mata ini menjadi saksi bisu ungkapan perasaan yang tak terbendung lagi,
   Bahwa aku, mencintainya selalu ...
 
http://www.facebook.com/#!/teguhkanhatiku
 

UMAR BIN KHTAB *kisah*

Seorang pemuda yang gagah perkasa berjalan dengan langkah yang mantap
mencari Nabi hendak membunuhnya. Ia sangat membenci Nabi, dan agama
baru yang dibawanya. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seseorang
yang bernama Naim bin Abdullah yang menanyakan tujuan perjalanannya
tersebut. Kemudian diceritakannya niatnya itu. Dengan mengejek, Naim
mengatakan agar ia lebih baik memperbaiki urusan rumah tangganya
sendiri terlebih dahulu. Seketika itu juga pemuda itu kembali ke
rumah dan mendapatkan ipar lelakinya sedang asyik membaca kitab suci
Al-Qur’an. Langsung sang ipar dipukul dengan ganas, pukulan yang
tidak membuat ipar maupun adiknya meninggalkan agama Islam. Pendirian
adik perempuannya yang teguh itu akhirnya justru menentramkan hatinya
dan malahan ia memintanya membaca kembali baris-baris Al-Qur’an.
Permintaan tersebut dipenuhi dengan senang hati. Kandungan arti dan
alunan ayat-ayat Kitabullah ternyata membuat si pemuda itu begitu
terpesonanya, sehingga ia bergegas ke rumah Nabi dan langsung memeluk
agama Islam. Begitulah pemuda yang bernama Umar bin Khattab, yang
sebelum masuk Islam dikenal sebagai musuh Islam yang berbahaya.
Dengan rahmat dan hidayah Allah, Islam telah bertambah kekuatannya
dengan masuknya seorang pemuda yang gagah perkasa. Ketiga bersaudara
itu begitu gembiranya, sehingga mereka secara spontan
mengumandangkan “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar). Gaungnya bergema
di pegunungan di sekitarnya.
Umar masuk agama Islam pada usia 27 tahun. Beliau dilahirkan di
Makkah, 40 tahun sebelum hijrah. Silsilahnya berkaitan dengan garis
keturunan Nabi pada generasi ke delapan. Moyangnya memegang jabatan
duta besar dan leluhurnya adalah pedagang. Ia salah satu dari 17
orang Makkah yang terpelajar ketika kenabian dianugerahkan kepada
Muhammad SAW.
Dengan masuknya Umar ke dalam agama Islam, kekuatan kaum Muslimin
makin bertambah tangguh. Ia kemudian menjadi penasehat utama Abu
Bakar selama masa pemerintahan dua setengah tahun. Ketika Abu Bakar
mangkat, ia dipilih menjadi khalifah Islam yang kedua, jabatan yang
diembannya dengan sangat hebat selama sepuluh setengah tahun. Ia
meninggal pada tahun 644 M, dibunuh selagi menjadi imam sembahyang di
masjid Nabi. Pembunuhnya bernama Feroz alias Abu Lu’lu, seorang
Majusi yang tidak puas.
Ajaran-ajaran Nabi telah mengubah suku-suku bangsa Arab yang suka
berperang menjadi bangsa yang bersatu, dan merupakan suatu revolusi
terbesar dalam sejarah manusia. Dalam masa tidak sampai 30 tahun,
orang-orang Arab yang suka berkelana telah menjadi tuan sebuah
kerajaan terbesar di waktu itu. Prajurit-prajuritnya melanda tiga
benua terkenal di dunia, dan dua kerajaan besar Caesar (Romawi) dan
Chesroes (Parsi) bertekuk lutut di hadapan pasukan Islam yang
perkasa. Nabi telah meninggalkan sekelompok orang yang tidak
mementingkan diri, yang telah mengabdikan dirinya kepada satu tujuan,
yakni berbakti kepada agama yang baru itu. Salah seorang di antaranya
adalah Umar al-Faruq, seorang tokoh besar, di masa perang maupun di
waktu damai. Tidak banyak tokoh dalam sejarah manusia yang telah
menunjukkan kepintaran dan kebaikan hati yang melebihi Umar, baik
sebagai pemimpin tentara di medan perang, maupun dalam mengemban
tugas-tugas terhadap rakyat serta dalam hak ketaatan kepada keadilan.
Kehebatannya terlihat juga dalam mengkonsolidasikan negeri-negeri
yang telah di taklukkan.
Islam sempat dituduh menyebarluaskan dirinya melalui ujung pedang.
Tapi riset sejarah modern yang dilakukan kemudian membuktikan bahwa
perang yang dilakukan orang Muslim selama kekhalifahan
Khulafaurrosyidin adalah untuk mempertahankan diri.
Sejarawan Inggris, Sir William Muir, melalui bukunya yang termasyur,
Rise, Decline and Fall of the Caliphate, mencatat bahwa setelah
penaklukan Mesopotamia, seorang jenderal Arab bernama Zaid memohon
izin Khalifah Umar untuk mengejar tentara Parsi yang melarikan diri
ke Khurasan. Keinginan jenderalnya itu ditolak Umar dengan
berkata, “Saya ingin agar antara Mesopotamia dan negara-negara di
sekitar pegunungan-pegunungan menjadi semacam batas penyekat,
sehingga orang-orang Parsi tidak akan mungkin menyerang kita.
Demikian pula kita, kita tidak bisa menyerang mereka. Dataran Irak
sudah memenuhi keinginan kita. Saya lebih menyukai keselamatan
bangsaku dari pada ribuan barang rampasan dan melebarkan wilayah
penaklukkan. Muir mengomentarinya demikian: “Pemikiran melakukan misi
yang meliputi seluruh dunia masih merupakan suatu embrio, kewajiban
untuk memaksakan agama Islam melalui peperangan belum lagi timbul
dalam pikiran orang Muslimin.”
Umar adalah ahli strategi militer yang besar. Ia mengeluarkan
perintah operasi militer secara mendetail. Pernah ketika mengadakan
operasi militer untuk menghadapi kejahatan orang-orang Parsi, beliau
yang merancang kopmposisi pasukan Muslim, dan mengeluarkan perintah
dengan detailnya. Saat beliau menerima khabar hasil pertempurannya
beliau ingin segera menyampaikan berita gembira atas kemenangan
tentara kaum Muslimin kepada penduduk, lalu Khalifah Umar berpidato
di hadapan penduduk Madinah: “Saudara-saudaraku! Aku bukanlah rajamu
yang ingin menjadikan Anda budak. Aku adalah hamba Allah dan pengabdi
hamba-Nya. Kepadaku telah dipercayakan tanggung jawab yang berat
untuk menjalankan pemerintahan khilafah. Adalah tugasku membuat Anda
senang dalam segala hal, dan akan menjadi hari nahas bagiku jika
timbul keinginan barang sekalipun agar Anda melayaniku. Aku berhasrat
mendidik Anda bukan melalui perintah-perintah, tetapi melalui
perbuatan.”
Pada tahun 634 M, pernah terjadi pertempuran dahsyat antara pasukan
Islam dan Romawi di dataran Yarmuk. Pihak Romawi mengerahkan 300.000
tentaranya, sedangkan tentara Muslimin hanya 46.000 orang. Walaupun
tidak terlatih dan berperlengkapan buruk, pasukan Muslimin yang
bertempur dengan gagah berani akhirnya berhasil mengalahkan tentara
Romawi. Sekitar 100.000 orang serdadu Romawi tewas sedangkan di pihak
Muslimin tidak lebih dari 3000 orang yang tewas dalam pertempuran
itu. Ketika Caesar diberitakan dengan kekalahan di pihaknya, dengan
sedih ia berteriak: “Selamat tinggal Syria,” dan dia mundur ke
Konstantinopel.
Beberapa prajurit yang melarikan diri dari medan pertempuran Yarmuk,
mencari perlindungan di antara dinding-dinding benteng kota
Yerusalem. Kota dijaga oleh garnisun tentara yang kuat dan mereka
mampu bertahan cukup lama. Akhirnya uskup agung Yerusalem mengajak
berdamai, tapi menolak menyerah kecuali langsung kepada Khalifah
sendiri. Umar mengabulkan permohonan itu, menempuh perjalanan di
Jabia tanpa pengawalan dan arak-arakan kebesaran, kecuali ditemani
seorang pembantunya. Ketika Umar tiba di hadapan uskup agung dan para
pembantunya, Khalifah menuntun untanya yang ditunggangi pembantunya.
Para pendeta Kristen lalu sangat kagum dengan sikap rendah hati
Khalifah Islam dan penghargaannya pada persamaan martabat antara
sesama manusia. Uskup agung dalam kesempatan itu menyerahkan kunci
kota suci kepada Khalifah dan kemudian mereka bersama-sama memasuki
kota. Ketika ditawari bersembahyang di gereja Kebaktian, Umar
menolaknya dengan mengatakan: “Kalau saya berbuat demikian, kaum
Muslimin di masa depan akan melanggar perjanjian ini dengan alasan
mengikuti contoh saya.” Syarat-syarat perdamaian yang adil ditawarkan
kepada orang Kristen. Sedangkan kepada orang-orang Yahudi, yang
membantu orang Muslimin, hak milik mereka dikembalikan tanpa harus
membayar pajak apa pun.
Penaklukan Syria sudah selesai. Seorang sejarawan terkenal
mengatakan: “Syria telah tunduk pada tongkat kekuasaan Khalifah, 700
tahun setelah Pompey menurunkan tahta raja terakhir Macedonia.
Setelah kekalahannya yang terakhir, orang Romawi mengaku takluk,
walaupun mereka masih terus menyerang daerah-daerah Muslimin. Orang
Romawi membangun sebuah rintangan yang tidak bisa dilalui, antara
daerahnya dan daerah orang Muslim. Mereka juga mengubah sisa tanah
luas miliknya di perbatasan Asia menjadi sebuah padang pasir. Semua
kota di jalur itu dihancurkan, benteng-benteng dibongkar, dan
penduduk dipaksa pindah ke wilayah yang lebih utara. Demikianlah
keadaannya apa yang dianggap sebagai perbuatan orang Arab Muslim yang
biadab sesungguhnya hasil kebiadaban Byzantium.” Namun kebijaksanaan
bumi hangus yang sembrono itu ternyata tidak dapat menghalangi
gelombang maju pasukan Muslimin. Dipimpin Ayaz yang menjadi panglima,
tentara Muslim melewati Tarsus, dan maju sampai ke pantai Laut Hitam.
Menurut sejarawan terkenal, Baladhuri, tentara Islam seharusnya telah
mencapai Dataran Debal di Sind. Tapi, kata Thabari, Khalifah
menghalangi tentaranya maju lebih ke timur dari Mekran.
Suatu penelitian pernah dilakukan untuk menunjukkan faktor-faktor
yang menentukan kemenangan besar operasai militer Muslimin yang
diraih dalam waktu yang begitu singkat. Kita ketahui, selama
pemerintahan khalifah yang kedua, orang Islam memerintah daerah yang
sangat luas. Termasuk di dalamnya Syria, Mesir, Irak, Parsi,
Khuzistan, Armenia, Azerbaijan, Kirman, Khurasan, Mekran, dan
sebagian Baluchistan. Pernah sekelompok orang Arab yang bersenjata
tidak lengkap dan tidak terlatih berhasil menggulingkan dua kerajaan
yang paling kuat di dunia. Apa yang memotivasikan mereka? Ternyata,
ajaran Nabi SAW. telah menanamkan semangat baru kepada pengikut agama
baru itu. Mereka merasa berjuang hanya demi Allah semata.
Kebijaksanaan khalifah Islam kedua dalam memilih para jenderalnya dan
syarat-syarat yang lunak yang ditawarkan kepada bangsa-bangsa yang
ditaklukan telah membantu terciptanya serangkaian kemenangan bagi
kaum Muslimin yang dicapai dalam waktu sangat singkat.
Bila diteliti kitab sejarah Thabari, dapat diketahui bahwa Umar al-
Faruq, kendati berada ribuan mil dari medan perang, berhasil menuntun
pasukannya dan mengawasi gerakan pasukan musuh. Suatu kelebihan
anugerah Allah yang luar biasa. Dalam menaklukan musuhnya, khalifah
banyak menekankan pada segi moral, dengan menawarkan syarat-syarat
yang lunak, dan memberikan mereka segala macam hak yang bahkan dalam
abad modern ini tidak pernah ditawarkan kepada suatu bangsa yang
kalah perang. Hal ini sangat membantu memenangkan simpati rakyat, dan
itu pada akhirnya membuka jalan bagi konsolidasi administrasi secara
efisien. Ia melarang keras tentaranya membunuh orang yang lemah dan
menodai kuil serta tempat ibadah lainnya. Sekali suatu perjanjian
ditandatangani, ia harus ditaati, yang tersurat maupun yang tersirat.
Berbeda dengan tindakan penindasan dan kebuasan yang dilakukan
Alexander, Caesar, Atilla, Ghengiz Khan, dan Hulagu. Penaklukan model
Umar bersifat badani dan rohani.
Ketika Alexander menaklukan Sur, sebuah kota di Syria, dia
memerintahkan para jenderalnya melakukan pembunuhan massal, dan
menggantung seribu warga negara terhormat pada dinding kota. Demikian
pula ketika dia menaklukan Astakher, sebuah kota di Parsi, dia
memerintahkan memenggal kepala semua laki-laki. Raja lalim seperti
Ghengiz Khan, Atilla dan Hulagu bahkan lebih ganas lagi. Tetapi
imperium mereka yang luas itu hancur berkeping-keping begitu sang
raja meninggal. Sedangkan penaklukan oleh khalifah Islam kedua
berbeda sifatnya. Kebijaksanaannya yang arif, dan administrasi yang
efisien, membantu mengonsolidasikan kerajaannya sedemikian rupa.
Sehingga sampai masa kini pun, setelah melewati lebih dari 1.400
tahun, negara-negara yang ditaklukannya masih berada di tangan orang
Muslim. Umar al-Faruk sesungguhnya penakluk terbesar yang pernah
dihasilkan sejarah.
Sifat mulia kaum Muslimin umumnya dan Khalifah khususnya, telah
memperkuat kepercayaan kaum non Muslim pada janji-janji yang
diberikan oleh pihak Muslimin. Suatu ketika, Hurmuz, pemimpin Parsi
yang menjadi musuh bebuyutan kaum Muslimin, tertawan di medan perang
dan di bawa menghadap Khalifah di Madinah. Ia sadar kepalanya pasti
akan dipenggal karena dosanya sebagai pembunuh sekian banyak orang
kaum Muslimin. Dia tampaknya merencanakan sesuatu, dan meminta
segelas air. Permohonannya dipenuhi, tapi anehnya ia tidak mau minum
air yang dihidangkan. Dia rupanya merasa akan dibunuh selagi mereguk
minuman, Khalifah meyakinkannya, dia tidak akan dibunuh kecuali jika
Hurmuz meminum air tadi. Hurmuz yang cerdik seketika itu juga
membuang air itu. Ia lalu berkata, karena dia mendapatkan jaminan
dari Khalifah, dia tidak akan minum air itu lagi. Khalifah memegang
janjinya. Hurmuz yang terkesan dengan kejujuran Khalifah, akhirnya
masuk Islam.
Khalifah Umar pernah berkata, “Kata-kata seorang Muslim biasa sama
beratnya dengan ucapan komandannya atau khalifahnya.” Demokrasi
sejati seperti ini diajarkan dan dilaksanakan selama kekhalifahan ar-
rosyidin hampir tidak ada persamaannya dalam sejarah umat manusia.
Islam sebagai agama yang demokratis, seperti digariskan Al-Qur’an,
dengan tegas meletakkan dasar kehidupan demokrasi dalam kehidupan
Muslimin, dan dengan demikian setiap masalah kenegaraan harus
dilaksanakan melalui konsultasi dan perundingan. Nabi SAW. sendiri
tidak pernah mengambil keputusan penting tanpa melakukan konsultasi.
Pohon demokrasi dalam Islam yang ditanam Nabi dan dipelihara oleh Abu
Bakar mencapai puncaknya pada jaman Khalifah Umar. Semasa
pemerintahan Umar telah dibentuk dua badan penasehat. Badan penasehat
yang satu merupakan sidang umum yang diundang bersidang bila negara
menghadapi bahaya. Sedang yang satu lagi adalah badan khusus yang
terdiri dari orang-orang yang integritasnya tidak diragukan untuk
diajak membicarakan hal rutin dan penting. Bahkan masalah
pengangkatan dan pemecatan pegawai sipil serta lainnya dapat dibawa
ke badan khusus ini, dan keputusannya dipatuhi.
Umar hidup seperti orang biasa dan setiap orang bebas menanyakan
tindakan-tindakannya. Suatu ketika ia berkata: “Aku tidak berkuasa
apa pun terhadap Baitul Mal (harta umum) selain sebagai petugas
penjaga milik yatim piatu. Jika aku kaya, aku mengambil uang sedikit
sebagai pemenuh kebutuhan sehari-hari. Saudara-saudaraku sekalian!
Aku abdi kalian, kalian harus mengawasi dan menanyakan segala
tindakanku. Salah satu hal yang harus diingat, uang rakyat tidak
boleh dihambur-hamburkan. Aku harus bekerja di atas prinsip
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.”
Suatu kali dalam sebuah rapat umum, seseorang berteriak: “O, Umar,
takutlah kepada Tuhan.” Para hadirin bermaksud membungkam orang itu,
tapi Khalifah mencegahnya sambil berkata: “Jika sikap jujur seperti
itu tidak ditunjukan oleh rakyat, rakyat menjadi tidak ada artinya.
Jika kita tidak mendengarkannya, kita akan seperti mereka.” Suatu
kebebasan menyampaikan pendapat telah dipraktekan dengan baik.
Ketika berpidato suatu kali di hadapan para gubernur, Khalifah
berkata: “Ingatlah, saya mengangkat Anda bukan untuk memerintah
rakyat, tapi agar Anda melayani mereka. Anda harus memberi contoh
dengan tindakan yang baik sehingga rakyat dapat meneladani Anda.”
Pada saat pengangkatannya, seorang gubernur harus menandatangani
pernyataan yang mensyaratkan bahwa “Dia harus mengenakan pakaian
sederhana, makan roti yang kasar, dan setiap orang yang ingin
mengadukan suatu hal bebas menghadapnya setiap saat.” Menurut
pengarang buku Futuhul-Buldan, di masa itu dibuat sebuah daftar
barang bergerak dan tidak bergerak begitu pegawai tinggi yang
terpilih diangkat. Daftar itu akan diteliti pada setiap waktu
tertentu, dan penguasa tersebut harus mempertanggung-jawabkan
terhadap setiap hartanya yang bertambah dengan sangat mencolok. Pada
saat musim haji setiap tahunnya, semua pegawai tinggi harus melapor
kepada Khalifah. Menurut penulis buku Kitab ul-Kharaj, setiap orang
berhak mengadukan kesalahan pejabat negara, yang tertinggi sekalipun,
dan pengaduan itu harus dilayani. Bila terbukti bersalah, pejabat
tersebut mendapat ganjaran hukuman.
Muhammad bin Muslamah Ansari, seorang yang dikenal berintegritas
tinggi, diangkat sebagai penyelidik keliling. Dia mengunjungi
berbagai negara dan meneliti pengaduan masyarakat. Sekali waktu,
Khalifah menerima pengaduan bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash, gubernur
Kufah, telah membangun sebuah istana. Seketika itu juga Umar memutus
Muhammad Ansari untuk menyaksikan adanya bagian istana yang ternyata
menghambat jalan masuk kepemukiman sebagian penduduk Kufah. Bagian
istana yang merugikan kepentingan umum itu kemudian dibongkar. Kasus
pengaduan lainnya menyebabkan Sa’ad dipecat dari jabatannya.
Seorang sejarawan Eropa menulis dalam The Encyclopedia of
Islam: “Peranan Umar sangatlah besar. Pengaturan warganya yang non-
Muslim, pembentukan lembaga yang mendaftar orang-orang yang mendapat
hak untuk pensiun tentara (divan), pengadaan pusat-pusat militer
(amsar) yang dikemudian hari berkembang menjadi kota-kota besar
Islam, pembentukan kantor kadi (qazi), semuanya adalah hasil
karyanya. Demikian pula seperangkat peraturan, seperti sembahyang
tarawih di bulan Ramadhan, keharusan naik haji, hukuman bagi pemabuk,
dan hukuman pelemparan dengan batu bagi orang yang berzina.”
Khalifah menaruh perhatian yang sangat besar dalam usaha perbaikan
keuangan negara, dengan menempatkannya pada kedudukan yang sehat. Ia
membentuk “Diwan” (departemen keuangan) yang dipercayakan menjalankan
administrasi pendapatan negara.
Pendapatan persemakmuran berasal dari sumber :
Zakat atau pajak yang dikenakan secara bertahap terhadap Muslim yang
berharta.
Kharaj atau pajak bumi
Jizyah atau pajak perseorangan. Dua pajak yang disebut terakhir, yang
membuat Islam banyak dicerca oleh sejarawan Barat, sebenarnya pernah
berlaku di kerajaan Romawi dan Sasanid (Parsi). Pajak yang dikenakan
pada orang non Muslim jauh lebih kecil jumlahnya dari pada yang
dibebankan pada kaum Muslimin.
Khalifah menetapkan pajak bumi menurut jenis penggunaan tanah yang
terkena. Ia menetapkan 4 dirham untuk satu Jarib gandum. Sejumlah 2
dirham dikenakan untuk luas tanah yang sama tapi ditanami gersb
(gandum pembuat ragi). Padang rumput dan tanah yang tidak ditanami
tidak dipungut pajak. Menurut sumber-sumber sejarah yang dapat
dipercaya, pendapatan pajak tahunan di Irak berjumlah 860 juta
dirham. Jumlah itu tak pernah terlampaui pada masa setelah wafatnya
Umar.
Ia memperkenalkan reform (penataan) yang luas di lapangan pertanian,
hal yang bahkan tidak terdapat di negara-negara berkebudayaan tinggi
di zaman modern ini. Salah satu dari reform itu ialah penghapusan
zamindari (tuan tanah), sehingga pada gilirannya terhapus pula beban
buruk yang mencekik petani penggarap. Ketika orang Romawi menaklukkan
Syria dan Mesir, mereka menyita tanah petani dan membagi-bagikannya
kepada anggota tentara, kaum ningrat, gereja, dan anggota keluarga
kerajaan.
Sejarawan Perancis mencatat: “Kebijaksanaan liberal orang Arab dalam
menentukan pajak dan mengadakan land reform sangat banyak pengaruhnya
terhadap berbagai kemenangan mereka di bidang kemiliteran.”
Ia membentuk departemen kesejahteraan rakyat, yang mengawasi
pekerjaan pembangunan dan melanjutkan rencana-rencana. Sejarawan
terkenal Allamah Maqrizi mengatakan, di Mesir saja lebih dari 20.000
pekerja terus-menerus dipekerjakan sepanjang tahun. Sejumlah kanal di
bangun di Khuzistan dan Ahwaz selama masa itu. Sebuah kanal
bernama “Nahr Amiril Mukminin,” yang menghubungkan Sungai Nil dengan
Laut Merah, dibangun untuk menjamin pengangkutan padi secara cepat
dari Mesir ke Tanah Suci.
Selama masa pemerintahan Umar diadakan pemisahan antara kekuasaan
pengadilan dan kekuasaan eksekutif. Von Hamer mengatakan, “Dahulu
hakim diangkat dan sekarang pun masih diangkat. Hakim ush-Shara ialah
penguasa yang ditetapkan berdasarkan undang-undang, karena undang-
undang menguasai seluruh keputusan pengadilan, dan para gubernur
dikuasakan menjalankan keputusan itu. Dengan demikian dengan usianya
yang masih sangat muda, Islam telah mengumandangkan dalam kata dan
perbuatan, pemisahan antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan
eksekutif.” Pemisahan seperti itu belum lagi dicapai oleh negara-
negara paling maju, sekalipun di zaman modern ini.
Umar sangat tegas dalam penegakan hukum yang tidak memihak dan tidak
pandang bulu. Suatu ketika anaknya sendiri yang bernama Abu Syahma,
dilaporkan terbiasa meminum khamar. Khalifah memanggilnya menghadap
dan ia sendiri yang mendera anak itu sampai meninggal. Cemeti yang
dipakai menghukum Abu Syahma ditancapkan di atas kuburan anak itu.
Kebesaran Khalifah Umar juga terlihat dalam perlakuannya yang
simpatik terhadap warganya yang non Muslim. Ia mengembalikan tanah-
tanah yang dirampas oleh pemerintahan jahiliyah kepada yang berhak
yang sebagian besar non Muslim. Ia berdamai dengan orang Kristen Elia
yang menyerah. Syarat-syarat perdamaiannya ialah: “Inilah perdamaian
yang ditawarkan Umar, hamba Allah, kepada penduduk Elia. Orang-orang
non Muslim diizinkan tinggal di gereja-gereja dan rumah-rumah ibadah
tidak boleh dihancurkan. Mereka bebas sepenuhnya menjalankan
ibadahnya dan tidak dianiaya dengan cara apa pun.” Menurut Imam
Syafi’i ketika Khalifah mengetahui seorang Muslim membunuh seorang
Kristen, ia mengijinkan ahli waris almarhum menuntut balas.
Akibatnya, si pembunuh dihukum penggal kepala.
Khalifah Umar juga mengajak orang non Muslim berkonsultasi tentang
sejumlah masalah kenegaraan. Menurut pengarang Kitab al-Kharaj, dalam
wasiatnya yang terakhir Umar memerintahkan kaum Muslimin menepati
sejumlah jaminan yang pernah diberikan kepada non Muslim, melindungi
harta dan jiwanya, dengan taruhan jiwa sekalipun. Umar bahkan
memaafkan penghianatan mereka, yang dalam sebuah pemerintahan beradab
di zaman sekarang pun tidak akan mentolerirnya. Orang Kristen dan
Yahudi di Hems bahkan sampai berdoa agar orang Muslimin kembali ke
negeri mereka. Khalifah memang membebankan jizyah, yaitu pajak
perlindungan bagi kaum non Muslim, tapi pajak itu tidak dikenakan
bagi orang non Muslim, yang bergabung dengan tentara Muslimin.
Khalifah sangat memperhatikan rakyatnya, sehingga pada suatu ketika
secara diam-diam ia turun berkeliling di malam hari untuk menyaksikan
langsung keadaan rakyatnya. Pada suatu malam, ketika sedang
berkeliling di luar kota Madinah, di sebuah rumah dilihatnya seorang
wanita sedang memasak sesuatu, sedang dua anak perempuan duduk di
sampingnya berteriak-teriak minta makan. Perempuan itu, ketika
menjawab Khalifah, menjelaskan bahwa anak-anaknya lapar, sedangkan di
ceret yang ia jerang tidak ada apa-apa selain air dan beberapa buah
batu. Itulah caranya ia menenangkan anak-anaknya agar mereka percaya
bahwa makanan sedang disiapkan. Tanpa menunjukan identitasnya,
Khalifah bergegas kembali ke Madinah yang berjarak tiga mil. Ia
kembali dengan memikul sekarung terigu, memasakkannya sendiri, dan
baru merasa puas setelah melihat anak-anak yang malang itu sudah
merasa kenyang. Keesokan harinya, ia berkunjung kembali, dan sambil
meminta maaf kepada wanita itu ia meninggalkan sejumlah uang sebagai
sedekah kepadanya.
Khalifah yang agung itu hidup dengan cara yang sangat sederhana.
Tingkat kehidupannya tidak lebih tinggi dari kehidupan orang biasa.
Suatu ketika Gubernur Kufah mengunjunginya sewaktu ia sedang makan.
Sang gubernur menyaksikan makanannya terdiri dari roti gersh dan
minyak zaitun, dan berkata, “Amirul mukminin, terdapat cukup di
kerajaan Anda; mengapa Anda tidak makan roti dari gandum?” Dengan
agak tersinggung dan nada murung, Khalifah bertanya, “Apakah Anda
pikir setiap orang di kerajaanku yang begitu luas bisa mendapatkan
gandum?” “Tidak,” Jawab gubernur. “Lalu, bagaimana aku dapat makan
roti dari gandum? Kecuali bila itu bisa dengan mudah didapat oleh
seluruh rakyatku.” Tambah Umar.
Dalam kesempatan lain Umar berpidato di hadapan suatu pertemuan.
Katanya, “Saudara-saudara, apabila aku menyeleweng, apa yang akan
kalian lakukan?” Seorang laki-laki bangkit dan berkata, “Anda akan
kami pancung.” Umar berkata lagi untuk mengujinya, “Beranikah anda
mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan seperti itu kepadaku?” “Ya,
berani!” jawab laki-laki tadi. Umar sangat gembira dengan keberanian
orang itu dan berkata, “Alhamdulillah, masih ada orang yang seberani
itu di negeri kita ini, sehingga bila aku menyeleweng mereka akan
memperbaikiku.”
Seorang filosof dan penyair Muslim tenar dari India menulis nukilan
seperti berikut untuk dia:
Jis se jigar-i-lala me thandak ho who shabnam Daryaan ke dil jis se
dabel jaen who toofan
Seperti embun yang mendinginkan hati bunga lily, dan bagaikan topan
yang menggelagakkan dalamnya sungai.
Sejarawan Kristen Mesir, Jurji Zaidan terhadap prestasi Umar
berkomentar:
“Pada zamannya, berbagai negara ia taklukkan, barang rampasan kian
menumpuk, harta kekayaan raja-raja Parsi dan Romawi mengalir dengan
derasnya di hadapan tentaranya, namun dia sendiri menunjukkan
kemampuan menahan nafsu serakah, sehingga kesederhanaannya tidak
pernah ada yang mampu menandingi. Dia berpidato di hadapan rakyatnya
dengan pakaian bertambalkan kulit hewan. Dia mempraktekkan satunya
kata dengan perbuatan. Dia mengawasi para gubernur dan jenderalnya
dengan cermat dan dengan cermat pula menyelidiki perbuatan mereka.
Bahkan Khalid bin Walid yang perkasa pun tidak terkecuali. Dia
berlaku adil kepada semua orang, dan bahkan juga bagi orang non-
Muslim. Selama masa pemerintahannya, disiplin baja diterapkan secara
utuh.”

Kamis, 20 Oktober 2011

TITIP KANGEN,,,

SALAM RINDU BUAT KAMU,,,,,

DIATAS SAJADAH CINTA

KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa.
Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.
Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala-nyala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.
Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menangis,
fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.
qad aflaha man zakkaaha.
wa qad khaaba man dassaaha
…”
(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan,
sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya
…)
Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya. Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi?
Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia pingsan.

***

Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair cinta,
in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si
musyriqun bi dhau’
wal hubb al wariq
…”
(jika aku pencinta malam maka
gelasku memancarkan cahaya
dan cinta yang mekar
…)

***

Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata, “Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syair-syair yang ia dendangkan.”
“Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”
“Bagaimana, kau terima atau…?”
“Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan.”
“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”
“Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”
“Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”
“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti juga akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”

***

Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya seorang penari melenggak lenggokan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.
“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.
“Be…benarkah?”
“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini, Yasir!”
“Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”
Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari-nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir,
“Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?”
Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.

***
Keesokan harinya.
Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit.
Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara,
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.
“Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”
Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,
“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”
Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya,
Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?”
Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,
Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan memesona,
“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau ke mana Tuan?”
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih memesona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat-cepat menundukkan kepalanya. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.
“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit.”
“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di dalam masjid?”
“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain.” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.
“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!”
“Aku mau melanjutkan perjalananku!”
Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”
Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.
“Tidak usah.”
“Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”
Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.

***

Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir.
Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang-orang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,
“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”
Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum,
“Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari.”
Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya.

***
Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun kurma tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung-relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyu’-khusyu’-nya namun usaha itu sia-sia.
“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun-embun cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk-Mu.” Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta, dan segala keindahan semesta.
Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan.
Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belom shalat tahajjud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkerama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.
“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!”
Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa,
“Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murkamu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin. Ilahi, hamba memohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu, dan ridha-Mu. Amin.”

***

Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan ke arah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu melamar Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua orangtua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Afiah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.
Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengarlah jawaban ayah Afirah,
“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”
Zahid hanya mampu menganggukan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.

***

Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfhar dan … Afirah.
Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,



Kepada Zahid,

Assalamu’alaikum

Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.
Zahid,
Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.

Wassalam
Afirah

===============================================================

Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga.
Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga-bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis untuk Afirah :



Kepada Afirah,

Salamullahi’alaiki,

Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata-mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah ‘Azza Wa Jalla’. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka-Nya.
Afirah,
Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka. Afirah, “Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ‘adhim!” ( Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az Zumar : 13 )
Afirah,
Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya :
“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).”
Karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.
Afirah,
Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.

Wassalam,
Zahid

===============================================================

Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.
Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamor. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah SWT. Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Di atas sajadah putih ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah SWT. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT.
Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah :



Kepada Zahid,

Assalamu’alaikum,

Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-Nya yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya.

Wassalam,
Afirah



===============================================================
Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga-bunga cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.

Sabtu, 03 September 2011

Memaknai Bulan Suro


Bulan Suro –yang dalam Islam dikenal dengan bulan Muharram- terkenal sakral dan penuh mistik di kalangan sebagian orang. Saking sakralnya berbagai keyakinan keliru bermunculan pada bulan ini. Berbagai ritual yang berbau syirik pun tak tertinggalan dihidupkan di bulan ini. Bulan Muharram dalam Islam sungguh adalah bulan yang mulia. Namun kenapa mesti dinodai dengan hal-hal semacam itu?
Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram
Dalam agama ini, bulan Muharram (dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut (yang artinya), ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”[1]
Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.”[2]
Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[3]
Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi, ”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah), padahal semua bulan adalah milik Allah?” Beliau rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan Allah (yaitu Muharram)[4] Jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama dan istimewa.
Bulan Suro, Bulan Penuh Bencana dan Musibah
Itulah berbagai tanggapan sebagian orang mengenai bulan Suro atau bulan Muharram. Sehingga kita akan melihat berbagai ritual untuk menghindari kesialan, bencana, musibah dilakukan oleh mereka. Di antaranya adalah acara ruwatan, yang berarti pembersihan. Mereka yang diruwat diyakini akan terbebas dari sukerta atau kekotoran. Ada beberapa kriteria bagi mereka yang wajib diruwat, antara lain ontang-anting (putra/putri tunggal), kedono-kedini (sepasang putra-putri), sendang kapit pancuran (satu putra diapit dua putri). Mereka yang lahir seperti ini menjadi mangsa empuk Bhatara Kala, simbol kejahatan.
Karena kesialan bulan Suro ini pula, sampai-sampai sebagian orang tua menasehati anaknya seperti ini: ”Nak, hati-hati di bulan ini. Jangan sering kebut-kebutan, nanti bisa celaka. Ini bulan suro lho.”
Karena bulan ini adalah bulan sial, sebagian orang tidak mau melakukan hajatan nikah, dsb. Jika melakukan hajatan pada bulan ini bisa mendapatkan berbagai musibah, acara pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dsb. Itulah berbagai anggapan masyarakat mengenai bulan Suro dan kesialan di dalamnya.
Ketahuilah saudaraku bahwa sikap-sikap di atas tidaklah keluar dari dua hal yaitu mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Karena ingatlah bahwa mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu. Saatnya kita melihat penilaian agama Islam mengenai dua hal ini.
Mencela Waktu atau Bulan
Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah: 24). Jadi, mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek.
Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.”[5]
Jelaslah bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang, bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ’Azza wa Jalla.
Merasa Sial dengan Waktu Tertentu
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda). Tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal.”[6]
Ini berarti bahwa beranggapan sial dengan sesuatu baik dengan waktu, bulan atau beranggapan sial dengan orang tertentu adalah suatu yang terlarang bahkan beranggapan sial termasuk kesyirikan.
Jangan Salahkan Bulan Suro!
Ingatlah bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan musibah atau kesialan, hendaknya dia mengambil ibroh bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan musibah, kesialan atau bencana begitu saja, pasti ada sebabnya. Di antara sebabnya adalah karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Inilah yang harus kita ingat, wahai saudaraku. Perhatikanlah firman Allah ’Azza wa Jalla (yang artinya), ”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa: 30)
Syaikh Sholih bin Fauzan hafizhohullah mengatakan, ”Jadi, hendaklah seorang mukmin bersegera untuk bertaubat atas dosa-dosanya dan bersabar dengan musibah yang menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah Ta’ala. Janganlah lisannya digunakan untuk mencela waktu dan hari, tempat terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan takdir-Nya. Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang terjadi disebabkan karena dosa yang telah dia lakukan. Maka seharusnya seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.”[7]
Jadi, waktu dan bulan tidaklah mendatangkan kesialan dan musibah sama sekali. Namun yang harus kita ketahui bahwa setiap musibah atau kesialan yang menimpa kita sudah menjadi ketetapan Allah dan itu juga karena dosa yang kita perbuat. Maka kewajiban kita hanyalah bertawakkal ketika melakukan suatu perkara dan perbanyaklah taubat serta istighfar pada Allah ’Azza wa Jalla.
Lalu pantaskah bulan Suro dianggap sebagai bulan sial dan bulan penuh bencana? Tentu saja tidak. Banyak bukti kita saksikan. Di antara saudara kami, ada yang mengadakan hajatan nikah di bulan Suro, namun acara resepsinya lancar-lancar saja, tidak mendapatkan kesialan. Bahkan keluarga mereka sangat harmonis dan dikaruniai banyak anak. Jadi, sebenarnya jika ingin hajatannya sukses bukanlah tergantung pada bulan tertentu atau pada waktu baik. Mengapa harus memilih hari-hari baik? Semua hari adalah baik di sisi Allah. Namun agar hajatan tersebut sukses, kiatnya adalah kita kembalikan semua pada Yang Di Atas, yaitu kembalikanlah semua hajat kita pada Allah. Karena Dia-lah sebaik-baik tempat bertawakal. Inilah yang harus kita ingat.
Isilah Bulan Muharram dengan Puasa
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendorong kita untuk banyak melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya, “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[8]
Dari hari-hari yang sebulan itu, puasa yang paling ditekankan untuk dilakukan adalah puasa pada hari ’Asyura yaitu pada tanggal 10 Muharram. Berpuasa pada hari tersebut akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata, “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.”[9]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa ‘Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan puasa pada hari lainnya. Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.[10]
Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan.[11]
Intinya, kita lebih baik berpuasa dua hari sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Karena dalam melakukan puasa ‘Asyura ada dua tingkatan yaitu: [1] Tingkatan yang lebih sempurna adalah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram sekaligus, dan [2] Tingkatan di bawahnya adalah berpuasa pada 10 Muharram saja.[12]
Insya Allah tanggal 10 Muharram jatuh pada tanggal 27 Desember 2009 sedangkan tanggal 9 Muharram jatuh pada tanggal 26 Desember 2009.
Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan amalan puasa ini. Hanya Allah yang memberi taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. [Muhammad Abduh Tuasikal, ST]
_____________
[1] HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679
[2] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36, 3/173, Mawqi’ At Tafasir
[3] HR. Muslim no. 2812
[4] Syarh Suyuthi li Sunan An Nasa’i, Abul Fadhl As Suyuthi, 3/206, Al Maktab Al Mathbu’at Al Islami, cetakan kedua, tahun 1406 H
[5] HR. Muslim no. 6000
[6] HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid – Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
[7] Lihat I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah
[8] HR. Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah.
[9] HR. Muslim no. 1162.
[10] HR. Muslim no. 1134, dari Ibnu ‘Abbas.
[11] Lihat Al Minhaj Syarh Muslim, 8/12-13.
[12] Lihat Tajridul Ittiba’, Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili, hal. 128, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, tahun 1428 H.

Profil Yayasan Majlis Tafsir Al-Quran ( MTA )

Yayasan Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) adalah sebuah lembaga pendidikan dan dakwah Islamiyah yang berkedudukan di Surakarta. MTA didirikan oleh Almarhum Ustadz Abdullah Thufail Saputra di Surakarta pada tangal 19 September 1972 dengan tujuan... untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an. Sesuai dengan nama dan tujuannya, pengkajian Al-Qur’an dengan tekanan pada pemahaman, penghayatan, dan pengamalan Al-Qur’an menjadi kegiatan utama MTA.

B. Latar Belakang

Pendirian MTA dilatarbelakangi oleh kondisi umat Islam pada akhir dekade 60 dan awal dekade70. Sampai pada waktu itu, ummat Islam yang telah berjuang sejak zaman Belanda untuk melakukan emansipasi, baik secara politik, ekonomi, maupun kultural, justru semakin terpinggirkan. Ustadz Abdullah Thufail Saputra, seorang mubaligh yang karena profesinya sebagai pedagang mendapat kesempatan untuk berkeliling hampir ke seluruh Indonesia, kecuali Irian Jaya, melihat bahwa kondisi umat Islam di Indonesia yang semacam itu tidak lain karena umat Islam di Indonesia kurang memahami Al-Qur’an. Oleh karena itu, sesuai dengan sabda Nabi s.a.w. bahwa umat Islam tidak akan dapat menjadi baik kecuali dengan apa yang telah menjadikan umat Islam baik pada awalnya, yaitu Al-Qur’an, Ustadz Abdullah Thufail Saputra yakin bahwa umat Islam Indonesia hanya akan dapat melakukan emansipasi apabila umat Islam mau kembali ke Al-Qur’an. Demikianlah, maka Ustadz Abdullah Thufail Saputra pun mendirikan MTA sebagai rintisan untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an.

C. Bentuk Badan Hukum

MTA tidak dikehendaki menjadi lembaga yang illegal, tidak dikehendaki menjadi ormas/orpol tersendiri di tengah-tengah ormas-ormas dan orpol-orpol Islam lain yang telah ada, dan tidak dikehendaki pula menjadi onderbouw ormas-ormas atau orpol-orpol lain. Untuk memenuhi keinginan ini, bentuk badan hukum yang dipilih adalah yayasan. Pada tanggal 23 Januari tahun 1974, MTA resmi menjadi yayasan dengan akta notaris R. Soegondo Notodiroerjo.

D. Struktur Lembaga

Kini MTA telah berkembang ke kota-kota dan propinsi-propinsi lain di Indonesia. Pada awalnya, setelah mendirikan MTA di Surakarta, Ustadz Abdullah Thufail Saputra membuka cabang di beberapa kecamatan di sekitar Surakarta, yaitu di kecamatan Nogosari (di Ketitang), Kabupaten Boyolali, di Kecamatan Polan Harjo, Kabupaten Klaten, di Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, dan di Kecamatan Gemolong, Kabupaten Sragen. Selanjutnya, perkembangan pada umumnya terjadi karena siswa-siswa MTA yang mengaji baik di MTA Pusat mau pun di cabang-cabang tersebut di daerahnya masing-masing, atau di tempatnya merantau di kota-kota besar, membentuk kelompok-kelompok pengajian. Setelah menjadi besar, kelompok-kelompok pengajian itu mengajukan permohonan ke MTA Pusat agar dikirim guru pengajar (yang tidak lain dari siswa-siswa senior) sehingga kelompok-kelompok pengajian itu pun menjadi cabang-cabang MTA yang baru. Dengan cara itu, dari tahun ke tahun tumbuh cabang-cabang baru sehingga ketika di sebuah kabupaten sudah tumbuh lebih dari satu cabang dan diperlukan koordinasi dibentuklah perwakilan yang mengkoordinir cabang-cabang tersebut dan bertanggungjawab membina kelompok-kelompok baru sehingga menjadi cabang. Kini, apabila kelompok pengajian ini merupakan kelompok pengajian yang pertama-tama tumbuh di sebuah kabupaten kelompok pengajian ini langsung diresmikan sebagai perwakilan. Demikianlah, cabang-cabang dan perwakilan-perwakilan baru tumbuh di berbagai daerah di Indonesia sehingga MTA memperoleh strukturnya seperti sekarang ini, yaitu MTA pusat, berkedudukan di Surakarta; MTA perwakilan, di daerah tingkat dua; dan MTA cabang di tingkat kecamatan (kecuali di DIY, perwakilan berada di tingkat propinsi dan cabang berada di tingkat kabupaten).

E. Kegiatan

1. Pengajian

a. Pengajian khusus

Sesuai dengan tujuan pendirian MTA, yaitu untuk mengajak umat Islam kembali ke Al-Qur’an, kegiatan utama di MTA berupa pengkajian Al-Qur’an. Pengkajian Al-Qur’an ini dilakukan dalam berbagai pengajian yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengjian khusus dan pengajian umum. Pengajian khusus adalah pengajian yang siswa-siswanya (juga disebut dengan istilah peserta) terdaftar dan setiap masuk diabsen. Pengajian khusus ini diselenggarakan seminggu sekali, baik di pusat maupun di perwakilan-perwakilan dan cabang-cabang, dengan guru pengajar yang dikirim dari pusat atau yang disetujui oleh pusat. Di perwakilan-perwakilan atau cabang-cabang yang tidak memungkinkan dijangkau satu minggu sekali, kecuali dengan waktu yang lama dan tenaga serta beaya yang besar, pengajian yang diisi oleh pengajar dari pusat diselenggarakan lebih dari satu minggu sekali, bahkan ada yang diselenggarakan satu semester sekali. Perwakilan-perwakilan dan cabang-cabang yang jauh dari Surakarta ini menyelenggarakan pengajian seminggu-sekali sendiri-sendiri. Konsultasi ke pusat dilakukan setiap saat melalui telpun.

Materi yang diberikan dalam pengajian khusus ini adalah tafsir Al-Qur’an dengan acuan tafsir Al-Qur’an yang dikeluarkan oleh Departemen Agama dan kitab-kitab tafsir lain baik karya ulama-ulama Indonesia maupun karya ulama-ulama dari dunia Islam yang laim, baik karya ulama-ulama salafi maupun ulama-ulama kholafi. Kitab tafsir yang sekarang sedang dikaji antara lain adalah kitab tafsir oleh Ibn Katsir yang sudah ada terjemahannya dan kitab tafsir oleh Ibn Abas. Kajjian terhadap kitab tafsir oleh Ibn Abas dilakukan khusus oleh siswa-siswa MTA yang kemampuan bahasa Arabnya telah memadai.

Proses belajar mengajar dalam pengajian khusus ini dilakukan dengan teknik ceramah dan tanya jawab. Guru pengajar menyajikan meteri yang dibawakannya kemudian diikuti dengan pertanyaan-pertanyaan dari siswa. Dengan tanya jawab ini pokok bahasan dapat berkembang ke berbagai hal yang dipandang perlu. Dari sinilah, kajian tafsir Al-Qur’an dapat berkembang ke kajian aqidah, kajian syareat, kajian akhlak, kajian tarikh, dan kajian masalah-masalah aktual sehari-hari. Dengan demikian, meskipun materi pokok dalam pengajian khusus ini adalah tafsir Al-Qur’an, tidak berarti cabang-cabang ilmu agama yang lain tidak disinggung. Bahkan, sering kali kajian tafsir hanya disajikan sekali dalam satu bulan dan apabila dipandang perlu kajian tafsir untuk sementara dapat diganti dengan kajian-kajian masalah-masalah lain yang mendesak untuk segera diketahui oleh siswa. Disamping itu, pengkajian tafsir Al-Qur’an yang dilakukan di MTA secara otomatis mencakup pengkajian Hadits karena ketika pembahasan berkembangan ke masalah-masalah lain mau tidak mau harus merujuk Hadits.

Dari itu semua dapat dilihat bahwa yang dilakukan di MTA bukanlah menafsirkan Al-Qur’an, melainkan mengkaji kitab-kitab tafsir yang ada dalam rangka pemahaman Al-Qur’an agar dapat dihayati dan selanjutnya diamalkan.

b. Pengajian Umum

Pengajian umum adalah pengajian yang dibuka untuk umum, siswanya tidak terdaftar dan tidak diabsen. Materi pengajian lebih ditekankan pada hal-hal yang diperlukan dalam pengamalan agama sehari-hari. Pengajian umum ini baru dapat diselenggarakan oleh MTA Pusat yang diselenggarakan satu minggu sekali pada hari Minggu pagi.

Mengapa Harus Barzanji ?

1). Keberadaan Kitab Barzanji Di Kalangan Kaum Muslimin.
Kitab ‘Iqdul jauhar fî maulid an nabiyyi al azhar’ atau yang terkenal dengan nama Maulid Barzanji, adalah sebuah kitab yang sangat populer di kalangan dunia Islam, demikian juga di negara kita Indonesia, terutama di kalangan para santri dan pondok-pondok pesantren. Maka, tidak mengherankan jika di setiap rumah mereka terdapat kitab Barzanji ini. Bahkan, sebagian di antara mereka sudah menghafalnya. Sudah menjadi ritual di antara mereka untuk membacanya setiap malam Senin karena meyakini adanya keutamaan dalam membacanya pada malam hari kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ada juga yang membacanya setiap malam Jum’at karena mengharap keberkahan malam hari tersebut. Ada juga yang membacanya setiap bulan sekali, dan ada juga pembacaan maulid barzanji ini pada hari menjelang kelahiran sang bayi atau pada hari dicukur rambutnya. Sudah kita ketahui bahwa mereka beramai-ramai membacanya dengan berjamaah kemudian berdiri ketika dibacakan detik-detik kelahiran beliau. Hal ini mereka lakukan pada perayaan maulid beliau pada tanggal 12 Rabi’ûl awwal. Mereka meyakini bahwa dengan membaca barzanji ini mereka telah mengenang dan memuliakan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga mereka akan memperoleh ketentraman, kedamaian dan keberkahan yang melimpah. Demikianlah cara mereka untuk mewujudkan cinta sejati mereka kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

2). Kandungan Kitab Barzanji
Kitab ini mengandung sejarah dan perjalanan hidup Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara singkat mulai sejak beliau lahir, diangkat menjadi rasul, peristiwa hijrah dan pada peperangan hingga wafat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun, dalam penyajiannya dipenuhi dengan lafadz-lafadz ghuluw dan pujian-pujian yang melampaui batas kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, terlebih ketika dibacakan masa-masa menjelang kelahiran beliau. Disebutkan bahwasanya binatang melata milik orang Quraisy sibuk memperbincangkan kelahiran beliau dengan bahasa Arab yang fasih', bahwa Âsiah, Maryam binti Imran dan bidadari-bidadari dari surga mendatangi ibu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yakni Aminah menjelang kelahiran beliau, tanaman yang dulu kering, menjadi tumbuh dan bersemi kembali setelah beliau lahir dan masih banyak lagi kemungkaran dalan barzanji ini, bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diberikan sebagian hak rububiyah yang tidak layak diberikan kecuali hanya kepada Allah k semata. Semua ini muncul karena sikap ghuluw atau ifrâth dari kelompok yang mengaku cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal, sikap ghuluw adalah sikap yang tercela dalam agama Islam dan merupakan sebab penyimpangan dan jauhnya kaum Muslimin dari kebenaran yang sebelumnya telah menghancurkan umat pendahulu kita. Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah k kecuali yang benar". [An-Nisa`/ 4:171-172]

Dari Umar bin Khathab, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أََطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah kalian menyanjungku secara berlebihan, sebagaimana kaum Nashara menyanjung Isa bin Maryam sesungguhnya aku adalah seorang hamba. Oleh karena itu katakanlah tentang aku, “hamba Allah Azza wa Jalla dan rasul-Nya”.[HR Bukhâri dan Muslim]

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَاْلغُلُوُّ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اْلغُلُوُّ

“Jauhilah sikap berlebih-lebihan, karena orang-orang sebelum kalian hancur binasa karena sikap berlebihan”. [HR Muslim]

Kitab Barzanji ini, serta kitab-kitab yang semisalnya seperti maulid Diba’i dan al Burdah dijadikan pegangan oleh para penyembah kubur dan pemuja para wali dan habib dalam rangka mengenang dan membela pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia. Hal ini telah dikatakan oleh pendahulu mereka, seorang tokoh Quburi (pengagum kubur) yang hidup semasa dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, yaitu Nuruddin Ali bin Ya’kub yang terkenal dengan nama al Bakri (673-724 H), dia berkata: “Aku sungguh khawatir atas mayoritas penduduk negeri ini (keburukan akan menimpa mereka) dengan sebab mereka enggan untuk membela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam“. Inilah dalih yang menjadi sandaran untuk membenarkan kebid’ahan mereka.

Sedangkan pernyataan ini telah dikupas dan dibantah oleh Syaikhul Islam dalam kitabnya al Istighâtsah fî ar-radi ‘alal bakrî . Begitulah dalih mereka sejak dahulu hingga sekarang dalam mengadakan acara maulid dan membaca barzanji atau semisalnya. Mereka membela pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menganggap bahwa kaum Wahabi tidak cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jelas, hal ini merupakan kedustaan yang besar atas ahlus sunnah wal jama’ah, karena Ahlus sunnah wal jama’ah adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam namun kecintaan mereka berada di antara ifrâth (ghuluw) dan tafrîth (meremehkan).

Dalam buku maulid barzanji ini tidak dijumpai satu ayatpun dari Alqur`an dan juga tidak terdapat satu kalimat pun dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang ada hanyalah sîrah atau sejarah perjalanan hidup beliau yang tersaji dalam untaian-untaian puisi sebagai sanjungan kepada Rasulullah Shallallahju 'alaihi wa sallam.

Kalau kita renungkan, mengapa kaum Muslimin negeri kita sangat cinta membaca kitab Barzanji ini? Mungkin di antara jawabannya adalah bahwa mereka hanya mengikuti tradisi dari pendahulu-pendahulu mereka, sehingga mereka taklîd buta dalam hal ini.

Padahal mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bukan dengan membaca kitab Barzanji, tetapi dengan mewujudkan syahâdat "Anna Muhammadan Rasulûllâh" dengan konsekuensi membenarkan beritanya, mentaati perintahnya, menjauhi larangannya, dan tidak beribadah kepada Allah Azza wa Jalla melainkan dengan syari’atkan beliau. Inilah cinta sejati kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni dengan merealisasikan mutâba’ah (keteladanan) kepada beliau yang mulia dan menerapkankan sunnah beliau dalam kehidupan sehari-hari.

Kemudian, bagaimana sebenarnya sikap seorang muslim terhadap kitab Barzanji ini ? Dan bagaimana dahulu salafus shâlih, para pendahulu kita yang mulia mencintai dan memuliakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ? Dan apakah yang mereka baca dan pelajari dalam keseharian mereka? Apakah kitab Barzanji atau yang kitab yang lain? Semoga pembahasan selanjutnya bisa memberikan jawabannya.

3). Para Sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Adalah Generasi Terbaik
Para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, adalah orang-orang yang paling bersemangat dalam kebaikan dan orang yang paling sempurna dalam mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan mereka juga orang yang paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada satu riwayatpun dari mereka, bahwa sepeninggal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka berkumpul lalu membaca sîrah dan mengenang kehidupan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia. Lau kâna khairan lasabaqûna ilaih; seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah mendahuhuli kita dalam mengamalkannya.

Demikian juga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau tidak pernah membaca sîrah beliau sendiri, tidak pernah mengajarkannya kepada para sahabat dan juga umatnya agar membaca sîrah pada hari kelahiran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal, tidak ada satu kebaikan pun, melainkan telah ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak ada satu keburukan pun melainkan telah dilarang oleh beliau. Jadi, pembacaan maulid barzanji dan maulid yang lain adalah bid’ah dhalâlah yang harus dijauhi oleh kaum muslimin.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ماَ بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرٍ مَا يَعْلُمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرُهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ

“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan dia berkewajiban untuk menunjukkan umatnya kepada perkara terbaik yang dia ketahui untuk mereka, dan memberi peringatan atas perkara jelek yang dia ketahui untuk mereka”. [HR Muslim]

Maka, pembacaan barzanji dan yang semisalnya bukanlah merupakan suatu kebaikan yang ditunjukkan oleh beliau Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

4). Kebaikan Yang Hakiki Hanya Ada Pada Ilmu Syar’i Yang Shahîh
Di antara tanda-tanda kebaikan seseorang adalah jika dia difahamkan oleh Allah Azza wa Jalla tentang agama Islam yang murni yang bersumber dari Alqur’ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia.

Diriwayatkan dari Mu’awiyah bin Sufyan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُرِدِ الله ُبِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ

“Barangsiapa yang dikehendaki Allah k untuk mendapatkan kebaikan maka Dia (Allah) akan memahamkannya dalam agama”.[HR Bukhâri]

Jadi, di antara tanda-tanda seseorang akan mendapatkan kebaikan adalah dengan mempelajari ilmu agama yang bersumber dari Alqur’ân dan hadits. Kemudian mengamalkan dan mendakwahkannya.

Kalau ditanyakan kepada kebanyakan saudara kita, mengapa mereka asyik membaca kitab Barzanji? Mereka pasti menjawab bahwa mereka hanya menginginkan kebaikan. Demikian juga para pelaku bid’ah, mereka menginginkan kebaikan dalam mengamalkan bid’ahnya. Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun dia tidak mampu memperolehnya, sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu 'anhu

5). Kewajiban Untuk Berpegang Kepada Alqur’ân Dan As Sunnah
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا

“Dan berpeganglah dengan tali Allah Azza wa Jalla semuanya dan janganlah berpecah belah”. [Ali-Imrân:103]

Syaikh as-Sa’di berkata: " Agar mereka berpegang teguh dengan tali yang Allah Azza wa Jalla berikan. Dia menjadikannya sebagai sebab antara mereka dan Dia, yaitu agama dan kitab-Nya. Kemudian mereka bersatu di atasnya, tidak berpecah belah dan senantiasa seperti itu hingga mereka mati.[2]

Alqur’ân dan as Sunnah adalah pedoman hidup kita dalam beragama dan kunci keselamatan di dunia dan akherat. Keduanya adalah jalan untuk meraih kebahagiaan yang abadi.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنِّيْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُوْا أَبَدًا : كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةُ نَبِيِّهِ

“Sesungguhnya aku telah tinggalkan pada kalian apabila kalian berpegang teguh dengannya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya; Kitâbullah dan Sunnah Nabi-Nya”. [HR Hâkim].

6). Keutamaan Membaca Dan Mempelajari Alqur’ân Dan Sunnah
Allah Azza wa Jalla berfirman:

” Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah k dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah k menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah k Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” [Fâthir/ 35:29-30]

Orang-orang yang membaca kitabullâh akan mendapatkan keutamaan yang besar. Mereka juga tidak meninggalkan membaca sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam memahaminya karena Alqur’ân dan Sunnah keduanya tidak bisa di pisahkan.

Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah berkata: "Membaca Alqur’ân itu terbagi menjadi dua:

Pertama adalah tilâwah hukmiyyah yakni membenarkan beritanya, menerapkan hukum-hukumnya dengan mengerjakan perintah dan menjauhi larangannya.

Kedua adalah tilâwah lafdziyah yakni sekedar membacanya, dan telah terdapat dalil yang banyak dalam keutamaan membaca Alqur’ân ini, baik membaca secara keseluruhan atau sebagian ayat-ayat tertentu saja.[3]

7). Adab-Adab Dalam Membaca Alqur’ân.
Ketika kaum muslimin gemar membaca Alqur’ân dan sibuk mempelajarinya, maka sudah selayaknya mereka mengetahui etika dan adab dalam bermuamalah dengan Kitâbullâh.

Di antara adab-adab dalam membaca Alqur’ân adalah:
a). Membaca dengan niat yang ikhlas.
Membaca Alqur’ân adalah ibadah yang mulia. Maka, disyaratkan untuk mengikhlaskan niat hanya mencari wajah Allah Azza wa Jalla. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِقْرَأُوْا القرُآنَ وَابْتَغُوْا بِهِ وَجْهَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ قَوْمٌ يُقِيْمُوْنَهُ إِقَامَةً الْقَدَحِ يَتَعَجَّلُوْنَهُ وَلاَ يَتَأَجَّلُوْنَهُ

“Bacalah Alqur’ân dan carilah dengannya wajah Allah Azza wa Jalla, sebelum datang satu kaum yang menegakkannya seperti melepaskan anak panah (membaca dengan cepat); mereka tergesa-gesa dan tidak mengharapkan pahala akherat”. [HR Ahmad]

Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Makna hadits ini adalah mereka tergesa-gesa dengan upahnya yang berupa uang atau agar terkenal dan semisalnya".[4]

b). Membaca dengan menghadirkan hati, menghayati apa yang dibaca dan berusaha memahami maknanya.
c). Membaca dalam keadaan berwudhu’, karena hal ini lebih memuliakan Kalâmullah
d). Tidak membacanya di tempat yang kotor dan najis atau di tempat yang bising sehingga tidak mungkin dia mendengar bacaannya dengan baik, karena ini berarti merendahkan Kalâmullah.
e). Hendaknya membaca ta’awwudz; A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm atau ta’awwudz yang lain sebelum mulai membacanya
f). Hendaknya memperbagus suaranya.
g). Hendaknya membaca dengan tartil.
8. Melakukan sujud tilawah ketika melewati ayat-ayat sajdah (ayat-ayat yang dianjurkan untuk sujud ketika membacanya).

8). Penutup
Kitab maulid Barzanji ternyata dipenuhi dengan kemungkaran aqidah di dalamnya. Dan tidak selayaknya kaum muslimin asyik membacanya dalam keadaan apapun, apalagi sebagian besar di antara mereka tidak memahami apa yang mereka baca. Perayaan maulid nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak disyari’atkan dalam agama kita bahkan termasuk perbuatan bid’ah. Maka, ajakan kami hendaknya kaum muslimin semuanya kembali kepada ajaran Islam yang murni dengan berpegang kepada Alqur’ân dan Sunnah di atas pemahaman salaful ummah dan istiqamah hingga wafat menjemput kita. Semoga Allah Azza wa Jalla ridha terhadap kita semua.
_________
Footnotes
[1]. Al istighâtsah fî ar-rad ‘ala Al bakri, cet maktabah dual minhaj hal 23
[2]. Tafsîr as-Sa’di, cet. Muassasah ar Risâlah hal 112
[3]. Majâlis Syahri Ramadhân, cet. ar Riasah al Ammah hal 28
[4]. At Tibyân fî Adâbi Hamalatil Qur’ân, cet. Maktabah Ibnu Abbas -Yaman hal 68
1). Keberadaan Kitab Barzanji Di Kalangan Kaum Muslimin.

Kitab ‘Iqdul jauhar fî maulid an nabiyyi al azhar’ atau yang terkenal
dengan nama Maulid Barzanji, adalah sebuah kitab yang sangat populer di
kalangan dunia Islam, demikian juga di negara kita Indonesia, terutama
di kalangan para santri dan pondok-pondok pesantren. Maka, tidak
mengherankan jika di setiap rumah mereka terdapat kitab Barzanji ini.
Bahkan, sebagian di antara mereka sudah menghafalnya. Sudah menjadi
ritual di antara mereka untuk membacanya setiap malam Senin karena
meyakini adanya keutamaan dalam membacanya pada malam hari kelahiran
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ada juga yang membacanya
setiap malam Jum’at karena mengharap keberkahan malam hari tersebut.
Ada juga yang membacanya setiap bulan sekali, dan ada juga pembacaan
maulid barzanji ini pada hari menjelang kelahiran sang bayi atau pada
hari dicukur rambutnya. Sudah kita ketahui bahwa mereka beramai-ramai
membacanya dengan berjamaah kemudian berdiri ketika dibacakan
detik-detik kelahiran beliau. Hal ini mereka lakukan pada perayaan
maulid beliau pada tanggal 12 Rabi’ûl awwal. Mereka meyakini bahwa
dengan membaca barzanji ini mereka telah mengenang dan memuliakan Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga mereka akan memperoleh
ketentraman, kedamaian dan keberkahan yang melimpah. Demikianlah cara
mereka untuk mewujudkan cinta sejati mereka kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. 



2). Kandungan Kitab Barzanji

Kitab ini mengandung sejarah dan perjalanan hidup Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam secara singkat mulai sejak beliau lahir,
diangkat menjadi rasul, peristiwa hijrah dan pada peperangan hingga
wafat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun, dalam penyajiannya
dipenuhi dengan lafadz-lafadz ghuluw dan pujian-pujian yang melampaui
batas kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, terlebih ketika
dibacakan masa-masa menjelang kelahiran beliau. Disebutkan bahwasanya
binatang melata milik orang Quraisy sibuk memperbincangkan kelahiran
beliau dengan bahasa Arab yang fasih', bahwa Âsiah, Maryam binti Imran
dan bidadari-bidadari dari surga mendatangi ibu Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam yakni Aminah menjelang kelahiran beliau, tanaman yang
dulu kering, menjadi tumbuh dan bersemi kembali setelah beliau lahir
dan masih banyak lagi kemungkaran dalan barzanji ini, bahkan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam diberikan sebagian hak rububiyah yang
tidak layak diberikan kecuali hanya kepada Allah k semata. Semua ini
muncul karena sikap ghuluw atau ifrâth dari kelompok yang mengaku cinta
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal, sikap ghuluw
adalah sikap yang tercela dalam agama Islam dan merupakan sebab
penyimpangan dan jauhnya kaum Muslimin dari kebenaran yang sebelumnya
telah menghancurkan umat pendahulu kita. Allah Azza wa Jalla berfirman:



"Wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan
janganlah kamu mengatakan terhadap Allah k kecuali yang benar".
[An-Nisa`/ 4:171-172]



Dari Umar bin Khathab, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:



لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أََطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ



“Janganlah kalian menyanjungku secara berlebihan, sebagaimana kaum
Nashara menyanjung Isa bin Maryam sesungguhnya aku adalah seorang
hamba. Oleh karena itu katakanlah tentang aku, “hamba Allah Azza wa
Jalla dan rasul-Nya”.[HR Bukhâri dan Muslim]



Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu,  bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:



إِيَّاكُمْ وَاْلغُلُوُّ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اْلغُلُوُّ



“Jauhilah sikap berlebih-lebihan, karena orang-orang sebelum kalian hancur binasa karena sikap berlebihan”. [HR Muslim]



Kitab Barzanji ini, serta kitab-kitab yang semisalnya seperti maulid
Diba’i dan al Burdah dijadikan pegangan oleh para penyembah kubur dan
pemuja para wali dan habib dalam rangka mengenang dan membela pribadi
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia. Hal ini telah
dikatakan oleh pendahulu mereka, seorang tokoh Quburi (pengagum kubur)
yang hidup semasa dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,
yaitu Nuruddin Ali bin Ya’kub yang terkenal dengan nama al Bakri
(673-724 H), dia berkata: “Aku sungguh khawatir atas mayoritas penduduk
negeri ini (keburukan akan menimpa mereka) dengan sebab mereka enggan
untuk membela Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam“. Inilah dalih
yang menjadi sandaran untuk membenarkan kebid’ahan mereka. 



Sedangkan pernyataan ini telah dikupas dan dibantah oleh Syaikhul Islam
dalam kitabnya al Istighâtsah fî ar-radi ‘alal bakrî . Begitulah dalih
mereka sejak dahulu hingga sekarang dalam mengadakan acara maulid dan
membaca barzanji atau semisalnya. Mereka membela pribadi Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menganggap bahwa kaum Wahabi tidak
cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jelas, hal ini
merupakan kedustaan yang besar atas ahlus sunnah wal jama’ah, karena
Ahlus sunnah wal jama’ah adalah orang yang paling cinta kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam namun kecintaan mereka berada
di antara ifrâth (ghuluw) dan tafrîth (meremehkan).



Dalam buku maulid barzanji ini tidak dijumpai satu ayatpun dari
Alqur`an dan juga tidak terdapat satu kalimat pun dari sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang ada hanyalah sîrah atau sejarah
perjalanan hidup beliau yang tersaji dalam untaian-untaian puisi
sebagai sanjungan kepada Rasulullah Shallallahju 'alaihi wa sallam.



Kalau kita renungkan, mengapa kaum Muslimin negeri kita sangat cinta
membaca kitab Barzanji ini? Mungkin di antara jawabannya adalah bahwa
mereka hanya mengikuti tradisi dari pendahulu-pendahulu mereka,
sehingga mereka taklîd buta dalam hal ini.



Padahal mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bukan dengan
membaca kitab Barzanji, tetapi dengan mewujudkan syahâdat "Anna
Muhammadan Rasulûllâh" dengan konsekuensi membenarkan beritanya,
mentaati perintahnya, menjauhi larangannya, dan tidak beribadah kepada
Allah Azza wa Jalla melainkan dengan syari’atkan beliau. Inilah cinta
sejati kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni dengan
merealisasikan mutâba’ah (keteladanan) kepada beliau yang mulia dan
menerapkankan sunnah beliau dalam kehidupan sehari-hari.



Kemudian, bagaimana sebenarnya sikap seorang muslim terhadap kitab
Barzanji ini ? Dan bagaimana dahulu salafus shâlih, para pendahulu kita
yang mulia mencintai dan memuliakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
? Dan apakah yang mereka baca dan pelajari dalam keseharian mereka?
Apakah kitab Barzanji atau yang kitab yang lain? Semoga pembahasan
selanjutnya bisa memberikan jawabannya.



3). Para Sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Adalah Generasi Terbaik

Para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, adalah orang-orang
yang paling bersemangat dalam kebaikan dan orang yang paling sempurna
dalam mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan
mereka juga orang yang paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Tidak ada satu riwayatpun dari mereka, bahwa sepeninggal
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka berkumpul lalu membaca
sîrah dan mengenang kehidupan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
mulia. Lau kâna khairan lasabaqûna ilaih; seandainya perbuatan itu baik
niscaya mereka telah mendahuhuli kita dalam mengamalkannya.



Demikian juga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau tidak
pernah membaca sîrah beliau sendiri, tidak pernah mengajarkannya kepada
para sahabat dan juga umatnya agar membaca sîrah pada hari kelahiran
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal, tidak ada satu kebaikan
pun, melainkan telah ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan tidak ada satu keburukan pun melainkan telah dilarang oleh
beliau. Jadi, pembacaan maulid barzanji dan maulid yang lain adalah
bid’ah dhalâlah yang harus dijauhi oleh kaum muslimin.



Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:



ماَ بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ
أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرٍ مَا يَعْلُمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرُهُمْ شَرَّ مَا
يَعْلَمُهُ لَهُمْ 



“Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan dia berkewajiban untuk
menunjukkan umatnya kepada perkara terbaik yang dia ketahui untuk
mereka, dan memberi peringatan atas perkara jelek yang dia ketahui
untuk mereka”. [HR Muslim]



Maka, pembacaan barzanji dan yang semisalnya bukanlah merupakan suatu
kebaikan yang ditunjukkan oleh beliau Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.



4). Kebaikan Yang Hakiki Hanya Ada Pada Ilmu Syar’i Yang Shahîh

Di antara tanda-tanda kebaikan seseorang adalah jika dia difahamkan
oleh Allah Azza wa Jalla tentang agama Islam yang murni yang bersumber
dari Alqur’ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dengan pemahaman para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
mulia.



Diriwayatkan dari Mu’awiyah bin Sufyan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:



مَنْ يُرِدِ الله ُبِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ



“Barangsiapa yang dikehendaki Allah k untuk mendapatkan kebaikan maka Dia (Allah) akan memahamkannya dalam agama”.[HR Bukhâri]



Jadi, di antara tanda-tanda seseorang akan mendapatkan kebaikan adalah
dengan mempelajari ilmu agama yang bersumber dari Alqur’ân dan hadits.
Kemudian mengamalkan dan mendakwahkannya.



Kalau ditanyakan kepada kebanyakan saudara kita, mengapa mereka asyik
membaca kitab Barzanji? Mereka pasti menjawab bahwa mereka hanya
menginginkan kebaikan. Demikian juga para pelaku bid’ah, mereka
menginginkan kebaikan dalam mengamalkan bid’ahnya. Betapa banyak orang
yang menginginkan kebaikan, namun dia tidak mampu memperolehnya,
sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu 'anhu



5). Kewajiban Untuk Berpegang Kepada Alqur’ân Dan As Sunnah

Allah Azza wa Jalla berfirman:



وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا



“Dan berpeganglah dengan tali Allah Azza wa Jalla semuanya dan janganlah berpecah belah”. [Ali-Imrân:103]

 

Syaikh as-Sa’di berkata: " Agar mereka berpegang teguh dengan tali yang
Allah Azza wa Jalla berikan. Dia menjadikannya sebagai sebab antara
mereka dan Dia, yaitu agama dan kitab-Nya. Kemudian mereka bersatu di
atasnya, tidak berpecah belah dan senantiasa seperti itu hingga mereka
mati.[2]



Alqur’ân dan as Sunnah adalah pedoman hidup kita dalam beragama dan
kunci keselamatan di dunia dan akherat. Keduanya adalah jalan untuk
meraih kebahagiaan yang abadi.



Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:



إِنِّيْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُوْا أَبَدًا : كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةُ نَبِيِّهِ



“Sesungguhnya aku telah tinggalkan pada kalian apabila kalian berpegang
teguh dengannya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya; Kitâbullah
dan Sunnah Nabi-Nya”. [HR Hâkim].



6). Keutamaan Membaca Dan Mempelajari Alqur’ân Dan Sunnah

Allah Azza wa Jalla berfirman:



” Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah k dan
mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami
anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka
itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah k
menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka
dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah k Maha Pengampun lagi Maha
Mensyukuri.” [Fâthir/ 35:29-30]



Orang-orang yang membaca kitabullâh akan mendapatkan keutamaan yang
besar. Mereka juga tidak meninggalkan membaca sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam memahaminya karena Alqur’ân dan
Sunnah keduanya tidak bisa di pisahkan.



Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah berkata: "Membaca Alqur’ân itu terbagi menjadi dua:



Pertama adalah tilâwah hukmiyyah yakni membenarkan beritanya,
menerapkan hukum-hukumnya dengan mengerjakan perintah dan menjauhi
larangannya. 



Kedua adalah tilâwah lafdziyah yakni sekedar membacanya, dan telah
terdapat dalil yang banyak dalam keutamaan membaca Alqur’ân ini, baik
membaca secara keseluruhan atau sebagian ayat-ayat tertentu saja.[3]



7). Adab-Adab Dalam Membaca Alqur’ân.

Ketika kaum muslimin gemar membaca Alqur’ân dan sibuk mempelajarinya,
maka sudah selayaknya mereka mengetahui etika dan adab dalam
bermuamalah dengan Kitâbullâh.



Di antara adab-adab dalam membaca Alqur’ân adalah:

a). Membaca dengan niat yang ikhlas.

Membaca Alqur’ân adalah ibadah yang mulia. Maka, disyaratkan untuk
mengikhlaskan niat hanya mencari wajah Allah Azza wa Jalla. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:



إِقْرَأُوْا القرُآنَ وَابْتَغُوْا بِهِ وَجْهَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ
قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ قَوْمٌ يُقِيْمُوْنَهُ إِقَامَةً الْقَدَحِ
يَتَعَجَّلُوْنَهُ وَلاَ يَتَأَجَّلُوْنَهُ



“Bacalah Alqur’ân dan carilah dengannya wajah Allah Azza wa Jalla,
sebelum datang satu kaum yang menegakkannya seperti melepaskan anak
panah (membaca dengan cepat); mereka tergesa-gesa dan tidak
mengharapkan pahala akherat”. [HR Ahmad]



Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Makna hadits ini adalah mereka
tergesa-gesa dengan upahnya yang berupa uang atau agar terkenal dan
semisalnya".[4] 



b). Membaca dengan menghadirkan hati, menghayati apa yang dibaca dan berusaha memahami maknanya.

c). Membaca dalam keadaan berwudhu’, karena hal ini lebih memuliakan Kalâmullah

d). Tidak membacanya di tempat yang kotor dan najis atau di tempat yang
bising sehingga tidak mungkin dia mendengar bacaannya dengan baik,
karena ini berarti merendahkan Kalâmullah.

e). Hendaknya membaca ta’awwudz; A’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm atau ta’awwudz yang lain sebelum mulai membacanya

f). Hendaknya memperbagus suaranya.

g). Hendaknya membaca dengan tartil.

8. Melakukan sujud tilawah ketika melewati ayat-ayat  sajdah (ayat-ayat yang dianjurkan untuk sujud ketika membacanya).



8). Penutup

Kitab maulid Barzanji ternyata dipenuhi dengan kemungkaran aqidah di
dalamnya. Dan tidak selayaknya kaum muslimin asyik membacanya dalam
keadaan apapun, apalagi sebagian besar di antara mereka tidak memahami
apa yang mereka baca. Perayaan maulid nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak disyari’atkan dalam agama kita bahkan termasuk perbuatan
bid’ah. Maka, ajakan kami hendaknya kaum muslimin semuanya kembali
kepada ajaran Islam yang murni dengan berpegang kepada Alqur’ân dan
Sunnah di atas pemahaman salaful ummah dan istiqamah hingga wafat
menjemput kita. Semoga Allah Azza wa Jalla ridha terhadap kita.



[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

_________

Footnotes

[1]. Al istighâtsah fî ar-rad ‘ala Al bakri, cet maktabah dual minhaj  hal 23

[2]. Tafsîr as-Sa’di, cet. Muassasah ar Risâlah hal 112

[3]. Majâlis Syahri Ramadhân, cet. ar Riasah al Ammah hal 28

[4]. At Tibyân fî Adâbi Hamalatil Qur’ân, cet. Maktabah Ibnu Abbas -Yaman hal 68			
				
Bismillaahirrahmaanirrahiim Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Rasul termulia, juga kepada seluruh keluarga dan shahabatnya. Amma ba'du.

 
Powered by Blogger