Halaman

Sabtu, 22 Oktober 2011

Curahan hati untuk Tuhan

Tuhan, jika memang ini adalah bayaran yang harus ku terima
aku ikhlas menerimanya Tuhan ..
   Aku tulus menyayangi setiap mereka yang memandangku sebelah mata
   Ku tak salah kan cinta ku padanya,
   Karna rasa ini tulus dari hati yang terdalam
   Yang kan terus ku jaga dan peluk erat rasa ini hingga takutku hilang dan ternoda
   Namun haruskan hati ku yang terluka ?
Jika memang mencintainya adalah suatu kesalahan,
Aku mohon maaf kepada mu ya Tuhan ..
Tapi ku bersumpah demi apapun jika aku benar - benar menyayanginya
Tulus dari perasaan ku, ku jaga ia dengan segenap hati ku
   Tuhan, mungkin dengan cara ini ia tau jika aku mencintainya
   Kalaupun suatu saat nanti ku tak lagi bersamanya,
   Tetap satukan hati kami dalam satu cinta yang ku jaga
   Dan biarkan air mata ini menjadi saksi bisu ungkapan perasaan yang tak terbendung lagi,
   Bahwa aku, mencintainya selalu ...
 
http://www.facebook.com/#!/teguhkanhatiku
 

UMAR BIN KHTAB *kisah*

Seorang pemuda yang gagah perkasa berjalan dengan langkah yang mantap
mencari Nabi hendak membunuhnya. Ia sangat membenci Nabi, dan agama
baru yang dibawanya. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seseorang
yang bernama Naim bin Abdullah yang menanyakan tujuan perjalanannya
tersebut. Kemudian diceritakannya niatnya itu. Dengan mengejek, Naim
mengatakan agar ia lebih baik memperbaiki urusan rumah tangganya
sendiri terlebih dahulu. Seketika itu juga pemuda itu kembali ke
rumah dan mendapatkan ipar lelakinya sedang asyik membaca kitab suci
Al-Qur’an. Langsung sang ipar dipukul dengan ganas, pukulan yang
tidak membuat ipar maupun adiknya meninggalkan agama Islam. Pendirian
adik perempuannya yang teguh itu akhirnya justru menentramkan hatinya
dan malahan ia memintanya membaca kembali baris-baris Al-Qur’an.
Permintaan tersebut dipenuhi dengan senang hati. Kandungan arti dan
alunan ayat-ayat Kitabullah ternyata membuat si pemuda itu begitu
terpesonanya, sehingga ia bergegas ke rumah Nabi dan langsung memeluk
agama Islam. Begitulah pemuda yang bernama Umar bin Khattab, yang
sebelum masuk Islam dikenal sebagai musuh Islam yang berbahaya.
Dengan rahmat dan hidayah Allah, Islam telah bertambah kekuatannya
dengan masuknya seorang pemuda yang gagah perkasa. Ketiga bersaudara
itu begitu gembiranya, sehingga mereka secara spontan
mengumandangkan “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar). Gaungnya bergema
di pegunungan di sekitarnya.
Umar masuk agama Islam pada usia 27 tahun. Beliau dilahirkan di
Makkah, 40 tahun sebelum hijrah. Silsilahnya berkaitan dengan garis
keturunan Nabi pada generasi ke delapan. Moyangnya memegang jabatan
duta besar dan leluhurnya adalah pedagang. Ia salah satu dari 17
orang Makkah yang terpelajar ketika kenabian dianugerahkan kepada
Muhammad SAW.
Dengan masuknya Umar ke dalam agama Islam, kekuatan kaum Muslimin
makin bertambah tangguh. Ia kemudian menjadi penasehat utama Abu
Bakar selama masa pemerintahan dua setengah tahun. Ketika Abu Bakar
mangkat, ia dipilih menjadi khalifah Islam yang kedua, jabatan yang
diembannya dengan sangat hebat selama sepuluh setengah tahun. Ia
meninggal pada tahun 644 M, dibunuh selagi menjadi imam sembahyang di
masjid Nabi. Pembunuhnya bernama Feroz alias Abu Lu’lu, seorang
Majusi yang tidak puas.
Ajaran-ajaran Nabi telah mengubah suku-suku bangsa Arab yang suka
berperang menjadi bangsa yang bersatu, dan merupakan suatu revolusi
terbesar dalam sejarah manusia. Dalam masa tidak sampai 30 tahun,
orang-orang Arab yang suka berkelana telah menjadi tuan sebuah
kerajaan terbesar di waktu itu. Prajurit-prajuritnya melanda tiga
benua terkenal di dunia, dan dua kerajaan besar Caesar (Romawi) dan
Chesroes (Parsi) bertekuk lutut di hadapan pasukan Islam yang
perkasa. Nabi telah meninggalkan sekelompok orang yang tidak
mementingkan diri, yang telah mengabdikan dirinya kepada satu tujuan,
yakni berbakti kepada agama yang baru itu. Salah seorang di antaranya
adalah Umar al-Faruq, seorang tokoh besar, di masa perang maupun di
waktu damai. Tidak banyak tokoh dalam sejarah manusia yang telah
menunjukkan kepintaran dan kebaikan hati yang melebihi Umar, baik
sebagai pemimpin tentara di medan perang, maupun dalam mengemban
tugas-tugas terhadap rakyat serta dalam hak ketaatan kepada keadilan.
Kehebatannya terlihat juga dalam mengkonsolidasikan negeri-negeri
yang telah di taklukkan.
Islam sempat dituduh menyebarluaskan dirinya melalui ujung pedang.
Tapi riset sejarah modern yang dilakukan kemudian membuktikan bahwa
perang yang dilakukan orang Muslim selama kekhalifahan
Khulafaurrosyidin adalah untuk mempertahankan diri.
Sejarawan Inggris, Sir William Muir, melalui bukunya yang termasyur,
Rise, Decline and Fall of the Caliphate, mencatat bahwa setelah
penaklukan Mesopotamia, seorang jenderal Arab bernama Zaid memohon
izin Khalifah Umar untuk mengejar tentara Parsi yang melarikan diri
ke Khurasan. Keinginan jenderalnya itu ditolak Umar dengan
berkata, “Saya ingin agar antara Mesopotamia dan negara-negara di
sekitar pegunungan-pegunungan menjadi semacam batas penyekat,
sehingga orang-orang Parsi tidak akan mungkin menyerang kita.
Demikian pula kita, kita tidak bisa menyerang mereka. Dataran Irak
sudah memenuhi keinginan kita. Saya lebih menyukai keselamatan
bangsaku dari pada ribuan barang rampasan dan melebarkan wilayah
penaklukkan. Muir mengomentarinya demikian: “Pemikiran melakukan misi
yang meliputi seluruh dunia masih merupakan suatu embrio, kewajiban
untuk memaksakan agama Islam melalui peperangan belum lagi timbul
dalam pikiran orang Muslimin.”
Umar adalah ahli strategi militer yang besar. Ia mengeluarkan
perintah operasi militer secara mendetail. Pernah ketika mengadakan
operasi militer untuk menghadapi kejahatan orang-orang Parsi, beliau
yang merancang kopmposisi pasukan Muslim, dan mengeluarkan perintah
dengan detailnya. Saat beliau menerima khabar hasil pertempurannya
beliau ingin segera menyampaikan berita gembira atas kemenangan
tentara kaum Muslimin kepada penduduk, lalu Khalifah Umar berpidato
di hadapan penduduk Madinah: “Saudara-saudaraku! Aku bukanlah rajamu
yang ingin menjadikan Anda budak. Aku adalah hamba Allah dan pengabdi
hamba-Nya. Kepadaku telah dipercayakan tanggung jawab yang berat
untuk menjalankan pemerintahan khilafah. Adalah tugasku membuat Anda
senang dalam segala hal, dan akan menjadi hari nahas bagiku jika
timbul keinginan barang sekalipun agar Anda melayaniku. Aku berhasrat
mendidik Anda bukan melalui perintah-perintah, tetapi melalui
perbuatan.”
Pada tahun 634 M, pernah terjadi pertempuran dahsyat antara pasukan
Islam dan Romawi di dataran Yarmuk. Pihak Romawi mengerahkan 300.000
tentaranya, sedangkan tentara Muslimin hanya 46.000 orang. Walaupun
tidak terlatih dan berperlengkapan buruk, pasukan Muslimin yang
bertempur dengan gagah berani akhirnya berhasil mengalahkan tentara
Romawi. Sekitar 100.000 orang serdadu Romawi tewas sedangkan di pihak
Muslimin tidak lebih dari 3000 orang yang tewas dalam pertempuran
itu. Ketika Caesar diberitakan dengan kekalahan di pihaknya, dengan
sedih ia berteriak: “Selamat tinggal Syria,” dan dia mundur ke
Konstantinopel.
Beberapa prajurit yang melarikan diri dari medan pertempuran Yarmuk,
mencari perlindungan di antara dinding-dinding benteng kota
Yerusalem. Kota dijaga oleh garnisun tentara yang kuat dan mereka
mampu bertahan cukup lama. Akhirnya uskup agung Yerusalem mengajak
berdamai, tapi menolak menyerah kecuali langsung kepada Khalifah
sendiri. Umar mengabulkan permohonan itu, menempuh perjalanan di
Jabia tanpa pengawalan dan arak-arakan kebesaran, kecuali ditemani
seorang pembantunya. Ketika Umar tiba di hadapan uskup agung dan para
pembantunya, Khalifah menuntun untanya yang ditunggangi pembantunya.
Para pendeta Kristen lalu sangat kagum dengan sikap rendah hati
Khalifah Islam dan penghargaannya pada persamaan martabat antara
sesama manusia. Uskup agung dalam kesempatan itu menyerahkan kunci
kota suci kepada Khalifah dan kemudian mereka bersama-sama memasuki
kota. Ketika ditawari bersembahyang di gereja Kebaktian, Umar
menolaknya dengan mengatakan: “Kalau saya berbuat demikian, kaum
Muslimin di masa depan akan melanggar perjanjian ini dengan alasan
mengikuti contoh saya.” Syarat-syarat perdamaian yang adil ditawarkan
kepada orang Kristen. Sedangkan kepada orang-orang Yahudi, yang
membantu orang Muslimin, hak milik mereka dikembalikan tanpa harus
membayar pajak apa pun.
Penaklukan Syria sudah selesai. Seorang sejarawan terkenal
mengatakan: “Syria telah tunduk pada tongkat kekuasaan Khalifah, 700
tahun setelah Pompey menurunkan tahta raja terakhir Macedonia.
Setelah kekalahannya yang terakhir, orang Romawi mengaku takluk,
walaupun mereka masih terus menyerang daerah-daerah Muslimin. Orang
Romawi membangun sebuah rintangan yang tidak bisa dilalui, antara
daerahnya dan daerah orang Muslim. Mereka juga mengubah sisa tanah
luas miliknya di perbatasan Asia menjadi sebuah padang pasir. Semua
kota di jalur itu dihancurkan, benteng-benteng dibongkar, dan
penduduk dipaksa pindah ke wilayah yang lebih utara. Demikianlah
keadaannya apa yang dianggap sebagai perbuatan orang Arab Muslim yang
biadab sesungguhnya hasil kebiadaban Byzantium.” Namun kebijaksanaan
bumi hangus yang sembrono itu ternyata tidak dapat menghalangi
gelombang maju pasukan Muslimin. Dipimpin Ayaz yang menjadi panglima,
tentara Muslim melewati Tarsus, dan maju sampai ke pantai Laut Hitam.
Menurut sejarawan terkenal, Baladhuri, tentara Islam seharusnya telah
mencapai Dataran Debal di Sind. Tapi, kata Thabari, Khalifah
menghalangi tentaranya maju lebih ke timur dari Mekran.
Suatu penelitian pernah dilakukan untuk menunjukkan faktor-faktor
yang menentukan kemenangan besar operasai militer Muslimin yang
diraih dalam waktu yang begitu singkat. Kita ketahui, selama
pemerintahan khalifah yang kedua, orang Islam memerintah daerah yang
sangat luas. Termasuk di dalamnya Syria, Mesir, Irak, Parsi,
Khuzistan, Armenia, Azerbaijan, Kirman, Khurasan, Mekran, dan
sebagian Baluchistan. Pernah sekelompok orang Arab yang bersenjata
tidak lengkap dan tidak terlatih berhasil menggulingkan dua kerajaan
yang paling kuat di dunia. Apa yang memotivasikan mereka? Ternyata,
ajaran Nabi SAW. telah menanamkan semangat baru kepada pengikut agama
baru itu. Mereka merasa berjuang hanya demi Allah semata.
Kebijaksanaan khalifah Islam kedua dalam memilih para jenderalnya dan
syarat-syarat yang lunak yang ditawarkan kepada bangsa-bangsa yang
ditaklukan telah membantu terciptanya serangkaian kemenangan bagi
kaum Muslimin yang dicapai dalam waktu sangat singkat.
Bila diteliti kitab sejarah Thabari, dapat diketahui bahwa Umar al-
Faruq, kendati berada ribuan mil dari medan perang, berhasil menuntun
pasukannya dan mengawasi gerakan pasukan musuh. Suatu kelebihan
anugerah Allah yang luar biasa. Dalam menaklukan musuhnya, khalifah
banyak menekankan pada segi moral, dengan menawarkan syarat-syarat
yang lunak, dan memberikan mereka segala macam hak yang bahkan dalam
abad modern ini tidak pernah ditawarkan kepada suatu bangsa yang
kalah perang. Hal ini sangat membantu memenangkan simpati rakyat, dan
itu pada akhirnya membuka jalan bagi konsolidasi administrasi secara
efisien. Ia melarang keras tentaranya membunuh orang yang lemah dan
menodai kuil serta tempat ibadah lainnya. Sekali suatu perjanjian
ditandatangani, ia harus ditaati, yang tersurat maupun yang tersirat.
Berbeda dengan tindakan penindasan dan kebuasan yang dilakukan
Alexander, Caesar, Atilla, Ghengiz Khan, dan Hulagu. Penaklukan model
Umar bersifat badani dan rohani.
Ketika Alexander menaklukan Sur, sebuah kota di Syria, dia
memerintahkan para jenderalnya melakukan pembunuhan massal, dan
menggantung seribu warga negara terhormat pada dinding kota. Demikian
pula ketika dia menaklukan Astakher, sebuah kota di Parsi, dia
memerintahkan memenggal kepala semua laki-laki. Raja lalim seperti
Ghengiz Khan, Atilla dan Hulagu bahkan lebih ganas lagi. Tetapi
imperium mereka yang luas itu hancur berkeping-keping begitu sang
raja meninggal. Sedangkan penaklukan oleh khalifah Islam kedua
berbeda sifatnya. Kebijaksanaannya yang arif, dan administrasi yang
efisien, membantu mengonsolidasikan kerajaannya sedemikian rupa.
Sehingga sampai masa kini pun, setelah melewati lebih dari 1.400
tahun, negara-negara yang ditaklukannya masih berada di tangan orang
Muslim. Umar al-Faruk sesungguhnya penakluk terbesar yang pernah
dihasilkan sejarah.
Sifat mulia kaum Muslimin umumnya dan Khalifah khususnya, telah
memperkuat kepercayaan kaum non Muslim pada janji-janji yang
diberikan oleh pihak Muslimin. Suatu ketika, Hurmuz, pemimpin Parsi
yang menjadi musuh bebuyutan kaum Muslimin, tertawan di medan perang
dan di bawa menghadap Khalifah di Madinah. Ia sadar kepalanya pasti
akan dipenggal karena dosanya sebagai pembunuh sekian banyak orang
kaum Muslimin. Dia tampaknya merencanakan sesuatu, dan meminta
segelas air. Permohonannya dipenuhi, tapi anehnya ia tidak mau minum
air yang dihidangkan. Dia rupanya merasa akan dibunuh selagi mereguk
minuman, Khalifah meyakinkannya, dia tidak akan dibunuh kecuali jika
Hurmuz meminum air tadi. Hurmuz yang cerdik seketika itu juga
membuang air itu. Ia lalu berkata, karena dia mendapatkan jaminan
dari Khalifah, dia tidak akan minum air itu lagi. Khalifah memegang
janjinya. Hurmuz yang terkesan dengan kejujuran Khalifah, akhirnya
masuk Islam.
Khalifah Umar pernah berkata, “Kata-kata seorang Muslim biasa sama
beratnya dengan ucapan komandannya atau khalifahnya.” Demokrasi
sejati seperti ini diajarkan dan dilaksanakan selama kekhalifahan ar-
rosyidin hampir tidak ada persamaannya dalam sejarah umat manusia.
Islam sebagai agama yang demokratis, seperti digariskan Al-Qur’an,
dengan tegas meletakkan dasar kehidupan demokrasi dalam kehidupan
Muslimin, dan dengan demikian setiap masalah kenegaraan harus
dilaksanakan melalui konsultasi dan perundingan. Nabi SAW. sendiri
tidak pernah mengambil keputusan penting tanpa melakukan konsultasi.
Pohon demokrasi dalam Islam yang ditanam Nabi dan dipelihara oleh Abu
Bakar mencapai puncaknya pada jaman Khalifah Umar. Semasa
pemerintahan Umar telah dibentuk dua badan penasehat. Badan penasehat
yang satu merupakan sidang umum yang diundang bersidang bila negara
menghadapi bahaya. Sedang yang satu lagi adalah badan khusus yang
terdiri dari orang-orang yang integritasnya tidak diragukan untuk
diajak membicarakan hal rutin dan penting. Bahkan masalah
pengangkatan dan pemecatan pegawai sipil serta lainnya dapat dibawa
ke badan khusus ini, dan keputusannya dipatuhi.
Umar hidup seperti orang biasa dan setiap orang bebas menanyakan
tindakan-tindakannya. Suatu ketika ia berkata: “Aku tidak berkuasa
apa pun terhadap Baitul Mal (harta umum) selain sebagai petugas
penjaga milik yatim piatu. Jika aku kaya, aku mengambil uang sedikit
sebagai pemenuh kebutuhan sehari-hari. Saudara-saudaraku sekalian!
Aku abdi kalian, kalian harus mengawasi dan menanyakan segala
tindakanku. Salah satu hal yang harus diingat, uang rakyat tidak
boleh dihambur-hamburkan. Aku harus bekerja di atas prinsip
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.”
Suatu kali dalam sebuah rapat umum, seseorang berteriak: “O, Umar,
takutlah kepada Tuhan.” Para hadirin bermaksud membungkam orang itu,
tapi Khalifah mencegahnya sambil berkata: “Jika sikap jujur seperti
itu tidak ditunjukan oleh rakyat, rakyat menjadi tidak ada artinya.
Jika kita tidak mendengarkannya, kita akan seperti mereka.” Suatu
kebebasan menyampaikan pendapat telah dipraktekan dengan baik.
Ketika berpidato suatu kali di hadapan para gubernur, Khalifah
berkata: “Ingatlah, saya mengangkat Anda bukan untuk memerintah
rakyat, tapi agar Anda melayani mereka. Anda harus memberi contoh
dengan tindakan yang baik sehingga rakyat dapat meneladani Anda.”
Pada saat pengangkatannya, seorang gubernur harus menandatangani
pernyataan yang mensyaratkan bahwa “Dia harus mengenakan pakaian
sederhana, makan roti yang kasar, dan setiap orang yang ingin
mengadukan suatu hal bebas menghadapnya setiap saat.” Menurut
pengarang buku Futuhul-Buldan, di masa itu dibuat sebuah daftar
barang bergerak dan tidak bergerak begitu pegawai tinggi yang
terpilih diangkat. Daftar itu akan diteliti pada setiap waktu
tertentu, dan penguasa tersebut harus mempertanggung-jawabkan
terhadap setiap hartanya yang bertambah dengan sangat mencolok. Pada
saat musim haji setiap tahunnya, semua pegawai tinggi harus melapor
kepada Khalifah. Menurut penulis buku Kitab ul-Kharaj, setiap orang
berhak mengadukan kesalahan pejabat negara, yang tertinggi sekalipun,
dan pengaduan itu harus dilayani. Bila terbukti bersalah, pejabat
tersebut mendapat ganjaran hukuman.
Muhammad bin Muslamah Ansari, seorang yang dikenal berintegritas
tinggi, diangkat sebagai penyelidik keliling. Dia mengunjungi
berbagai negara dan meneliti pengaduan masyarakat. Sekali waktu,
Khalifah menerima pengaduan bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash, gubernur
Kufah, telah membangun sebuah istana. Seketika itu juga Umar memutus
Muhammad Ansari untuk menyaksikan adanya bagian istana yang ternyata
menghambat jalan masuk kepemukiman sebagian penduduk Kufah. Bagian
istana yang merugikan kepentingan umum itu kemudian dibongkar. Kasus
pengaduan lainnya menyebabkan Sa’ad dipecat dari jabatannya.
Seorang sejarawan Eropa menulis dalam The Encyclopedia of
Islam: “Peranan Umar sangatlah besar. Pengaturan warganya yang non-
Muslim, pembentukan lembaga yang mendaftar orang-orang yang mendapat
hak untuk pensiun tentara (divan), pengadaan pusat-pusat militer
(amsar) yang dikemudian hari berkembang menjadi kota-kota besar
Islam, pembentukan kantor kadi (qazi), semuanya adalah hasil
karyanya. Demikian pula seperangkat peraturan, seperti sembahyang
tarawih di bulan Ramadhan, keharusan naik haji, hukuman bagi pemabuk,
dan hukuman pelemparan dengan batu bagi orang yang berzina.”
Khalifah menaruh perhatian yang sangat besar dalam usaha perbaikan
keuangan negara, dengan menempatkannya pada kedudukan yang sehat. Ia
membentuk “Diwan” (departemen keuangan) yang dipercayakan menjalankan
administrasi pendapatan negara.
Pendapatan persemakmuran berasal dari sumber :
Zakat atau pajak yang dikenakan secara bertahap terhadap Muslim yang
berharta.
Kharaj atau pajak bumi
Jizyah atau pajak perseorangan. Dua pajak yang disebut terakhir, yang
membuat Islam banyak dicerca oleh sejarawan Barat, sebenarnya pernah
berlaku di kerajaan Romawi dan Sasanid (Parsi). Pajak yang dikenakan
pada orang non Muslim jauh lebih kecil jumlahnya dari pada yang
dibebankan pada kaum Muslimin.
Khalifah menetapkan pajak bumi menurut jenis penggunaan tanah yang
terkena. Ia menetapkan 4 dirham untuk satu Jarib gandum. Sejumlah 2
dirham dikenakan untuk luas tanah yang sama tapi ditanami gersb
(gandum pembuat ragi). Padang rumput dan tanah yang tidak ditanami
tidak dipungut pajak. Menurut sumber-sumber sejarah yang dapat
dipercaya, pendapatan pajak tahunan di Irak berjumlah 860 juta
dirham. Jumlah itu tak pernah terlampaui pada masa setelah wafatnya
Umar.
Ia memperkenalkan reform (penataan) yang luas di lapangan pertanian,
hal yang bahkan tidak terdapat di negara-negara berkebudayaan tinggi
di zaman modern ini. Salah satu dari reform itu ialah penghapusan
zamindari (tuan tanah), sehingga pada gilirannya terhapus pula beban
buruk yang mencekik petani penggarap. Ketika orang Romawi menaklukkan
Syria dan Mesir, mereka menyita tanah petani dan membagi-bagikannya
kepada anggota tentara, kaum ningrat, gereja, dan anggota keluarga
kerajaan.
Sejarawan Perancis mencatat: “Kebijaksanaan liberal orang Arab dalam
menentukan pajak dan mengadakan land reform sangat banyak pengaruhnya
terhadap berbagai kemenangan mereka di bidang kemiliteran.”
Ia membentuk departemen kesejahteraan rakyat, yang mengawasi
pekerjaan pembangunan dan melanjutkan rencana-rencana. Sejarawan
terkenal Allamah Maqrizi mengatakan, di Mesir saja lebih dari 20.000
pekerja terus-menerus dipekerjakan sepanjang tahun. Sejumlah kanal di
bangun di Khuzistan dan Ahwaz selama masa itu. Sebuah kanal
bernama “Nahr Amiril Mukminin,” yang menghubungkan Sungai Nil dengan
Laut Merah, dibangun untuk menjamin pengangkutan padi secara cepat
dari Mesir ke Tanah Suci.
Selama masa pemerintahan Umar diadakan pemisahan antara kekuasaan
pengadilan dan kekuasaan eksekutif. Von Hamer mengatakan, “Dahulu
hakim diangkat dan sekarang pun masih diangkat. Hakim ush-Shara ialah
penguasa yang ditetapkan berdasarkan undang-undang, karena undang-
undang menguasai seluruh keputusan pengadilan, dan para gubernur
dikuasakan menjalankan keputusan itu. Dengan demikian dengan usianya
yang masih sangat muda, Islam telah mengumandangkan dalam kata dan
perbuatan, pemisahan antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan
eksekutif.” Pemisahan seperti itu belum lagi dicapai oleh negara-
negara paling maju, sekalipun di zaman modern ini.
Umar sangat tegas dalam penegakan hukum yang tidak memihak dan tidak
pandang bulu. Suatu ketika anaknya sendiri yang bernama Abu Syahma,
dilaporkan terbiasa meminum khamar. Khalifah memanggilnya menghadap
dan ia sendiri yang mendera anak itu sampai meninggal. Cemeti yang
dipakai menghukum Abu Syahma ditancapkan di atas kuburan anak itu.
Kebesaran Khalifah Umar juga terlihat dalam perlakuannya yang
simpatik terhadap warganya yang non Muslim. Ia mengembalikan tanah-
tanah yang dirampas oleh pemerintahan jahiliyah kepada yang berhak
yang sebagian besar non Muslim. Ia berdamai dengan orang Kristen Elia
yang menyerah. Syarat-syarat perdamaiannya ialah: “Inilah perdamaian
yang ditawarkan Umar, hamba Allah, kepada penduduk Elia. Orang-orang
non Muslim diizinkan tinggal di gereja-gereja dan rumah-rumah ibadah
tidak boleh dihancurkan. Mereka bebas sepenuhnya menjalankan
ibadahnya dan tidak dianiaya dengan cara apa pun.” Menurut Imam
Syafi’i ketika Khalifah mengetahui seorang Muslim membunuh seorang
Kristen, ia mengijinkan ahli waris almarhum menuntut balas.
Akibatnya, si pembunuh dihukum penggal kepala.
Khalifah Umar juga mengajak orang non Muslim berkonsultasi tentang
sejumlah masalah kenegaraan. Menurut pengarang Kitab al-Kharaj, dalam
wasiatnya yang terakhir Umar memerintahkan kaum Muslimin menepati
sejumlah jaminan yang pernah diberikan kepada non Muslim, melindungi
harta dan jiwanya, dengan taruhan jiwa sekalipun. Umar bahkan
memaafkan penghianatan mereka, yang dalam sebuah pemerintahan beradab
di zaman sekarang pun tidak akan mentolerirnya. Orang Kristen dan
Yahudi di Hems bahkan sampai berdoa agar orang Muslimin kembali ke
negeri mereka. Khalifah memang membebankan jizyah, yaitu pajak
perlindungan bagi kaum non Muslim, tapi pajak itu tidak dikenakan
bagi orang non Muslim, yang bergabung dengan tentara Muslimin.
Khalifah sangat memperhatikan rakyatnya, sehingga pada suatu ketika
secara diam-diam ia turun berkeliling di malam hari untuk menyaksikan
langsung keadaan rakyatnya. Pada suatu malam, ketika sedang
berkeliling di luar kota Madinah, di sebuah rumah dilihatnya seorang
wanita sedang memasak sesuatu, sedang dua anak perempuan duduk di
sampingnya berteriak-teriak minta makan. Perempuan itu, ketika
menjawab Khalifah, menjelaskan bahwa anak-anaknya lapar, sedangkan di
ceret yang ia jerang tidak ada apa-apa selain air dan beberapa buah
batu. Itulah caranya ia menenangkan anak-anaknya agar mereka percaya
bahwa makanan sedang disiapkan. Tanpa menunjukan identitasnya,
Khalifah bergegas kembali ke Madinah yang berjarak tiga mil. Ia
kembali dengan memikul sekarung terigu, memasakkannya sendiri, dan
baru merasa puas setelah melihat anak-anak yang malang itu sudah
merasa kenyang. Keesokan harinya, ia berkunjung kembali, dan sambil
meminta maaf kepada wanita itu ia meninggalkan sejumlah uang sebagai
sedekah kepadanya.
Khalifah yang agung itu hidup dengan cara yang sangat sederhana.
Tingkat kehidupannya tidak lebih tinggi dari kehidupan orang biasa.
Suatu ketika Gubernur Kufah mengunjunginya sewaktu ia sedang makan.
Sang gubernur menyaksikan makanannya terdiri dari roti gersh dan
minyak zaitun, dan berkata, “Amirul mukminin, terdapat cukup di
kerajaan Anda; mengapa Anda tidak makan roti dari gandum?” Dengan
agak tersinggung dan nada murung, Khalifah bertanya, “Apakah Anda
pikir setiap orang di kerajaanku yang begitu luas bisa mendapatkan
gandum?” “Tidak,” Jawab gubernur. “Lalu, bagaimana aku dapat makan
roti dari gandum? Kecuali bila itu bisa dengan mudah didapat oleh
seluruh rakyatku.” Tambah Umar.
Dalam kesempatan lain Umar berpidato di hadapan suatu pertemuan.
Katanya, “Saudara-saudara, apabila aku menyeleweng, apa yang akan
kalian lakukan?” Seorang laki-laki bangkit dan berkata, “Anda akan
kami pancung.” Umar berkata lagi untuk mengujinya, “Beranikah anda
mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan seperti itu kepadaku?” “Ya,
berani!” jawab laki-laki tadi. Umar sangat gembira dengan keberanian
orang itu dan berkata, “Alhamdulillah, masih ada orang yang seberani
itu di negeri kita ini, sehingga bila aku menyeleweng mereka akan
memperbaikiku.”
Seorang filosof dan penyair Muslim tenar dari India menulis nukilan
seperti berikut untuk dia:
Jis se jigar-i-lala me thandak ho who shabnam Daryaan ke dil jis se
dabel jaen who toofan
Seperti embun yang mendinginkan hati bunga lily, dan bagaikan topan
yang menggelagakkan dalamnya sungai.
Sejarawan Kristen Mesir, Jurji Zaidan terhadap prestasi Umar
berkomentar:
“Pada zamannya, berbagai negara ia taklukkan, barang rampasan kian
menumpuk, harta kekayaan raja-raja Parsi dan Romawi mengalir dengan
derasnya di hadapan tentaranya, namun dia sendiri menunjukkan
kemampuan menahan nafsu serakah, sehingga kesederhanaannya tidak
pernah ada yang mampu menandingi. Dia berpidato di hadapan rakyatnya
dengan pakaian bertambalkan kulit hewan. Dia mempraktekkan satunya
kata dengan perbuatan. Dia mengawasi para gubernur dan jenderalnya
dengan cermat dan dengan cermat pula menyelidiki perbuatan mereka.
Bahkan Khalid bin Walid yang perkasa pun tidak terkecuali. Dia
berlaku adil kepada semua orang, dan bahkan juga bagi orang non-
Muslim. Selama masa pemerintahannya, disiplin baja diterapkan secara
utuh.”

Kamis, 20 Oktober 2011

TITIP KANGEN,,,

SALAM RINDU BUAT KAMU,,,,,

DIATAS SAJADAH CINTA

KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa.
Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.
Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala-nyala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.
Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menangis,
fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.
qad aflaha man zakkaaha.
wa qad khaaba man dassaaha
…”
(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan,
sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya
…)
Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya. Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi?
Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia pingsan.

***

Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair cinta,
in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si
musyriqun bi dhau’
wal hubb al wariq
…”
(jika aku pencinta malam maka
gelasku memancarkan cahaya
dan cinta yang mekar
…)

***

Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata, “Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syair-syair yang ia dendangkan.”
“Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”
“Bagaimana, kau terima atau…?”
“Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan.”
“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”
“Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”
“Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”
“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti juga akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”

***

Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya seorang penari melenggak lenggokan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.
“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.
“Be…benarkah?”
“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini, Yasir!”
“Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”
Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari-nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir,
“Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?”
Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.

***
Keesokan harinya.
Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit.
Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara,
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.
“Toloong! Toloong!!”
Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.
“Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”
Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,
“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”
Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya,
Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?”
Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,
Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan memesona,
“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau ke mana Tuan?”
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih memesona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat-cepat menundukkan kepalanya. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.
“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit.”
“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di dalam masjid?”
“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain.” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.
“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!”
“Aku mau melanjutkan perjalananku!”
Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”
Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.
“Tidak usah.”
“Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”
Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.

***

Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir.
Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang-orang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,
“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”
Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum,
“Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari.”
Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya.

***
Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun kurma tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung-relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyu’-khusyu’-nya namun usaha itu sia-sia.
“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun-embun cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk-Mu.” Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta, dan segala keindahan semesta.
Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan.
Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belom shalat tahajjud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkerama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.
“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!”
Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa,
“Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murkamu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin. Ilahi, hamba memohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu, dan ridha-Mu. Amin.”

***

Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan ke arah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu melamar Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua orangtua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Afiah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.
Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengarlah jawaban ayah Afirah,
“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”
Zahid hanya mampu menganggukan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.

***

Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfhar dan … Afirah.
Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,



Kepada Zahid,

Assalamu’alaikum

Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.
Zahid,
Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.

Wassalam
Afirah

===============================================================

Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga.
Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga-bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis untuk Afirah :



Kepada Afirah,

Salamullahi’alaiki,

Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata-mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah ‘Azza Wa Jalla’. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka-Nya.
Afirah,
Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka. Afirah, “Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ‘adhim!” ( Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az Zumar : 13 )
Afirah,
Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya :
“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).”
Karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.
Afirah,
Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.

Wassalam,
Zahid

===============================================================

Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.
Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamor. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah SWT. Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Di atas sajadah putih ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah SWT. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT.
Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah :



Kepada Zahid,

Assalamu’alaikum,

Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-Nya yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya.

Wassalam,
Afirah



===============================================================
Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga-bunga cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.

 
Powered by Blogger